Monday, January 26, 2015

Perkembangan Kerajaan Hindu–Buddha di Indonesia (LENGKAP)



Perkembangan Kerajaan Hindu–Buddha di Indonesia


Masuknya pengaruh kebudayaan Hindu–Buddha di Indonesia di bidang
pemerintahan menyebabkan bergesernya pola pemerintahan dari bentuk suku-
suku menjadi kerajaan. Kerajaan-kerajaan yang muncul akibat pengaruh Hindu–
Buddha, antara lain sebagai berikut.

1. Kerajaan Kutai
Banyak hasil penelitian yang menyebutkan bahwa kerajaan Hindu tertua di
Indonesia adalah Kerajaan Kutai.
a. Bidang Politik
Keterlibatan Indonesia dengan dunia luar telah dimulai sejak abad pertama
Masehi. Mereka telah mengadakan komunikasi, hubungan dagang, dan diduga
juga ada yang menikah dengan orang-orang India. Pernikahan menyebabkan
orang-orang India menetap di wilayah Indonesia dan mulailah terjadi perubahan.
Pengaruh datangnya kebudayaan India terutama kebudayaan Hindu
menyebabkan Kutai yang semula merupakan kelompok masyarakat yang
berbentuk suku berubah sistem pemerintahannya. Kepala pemerintahannya yang

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 8

semula seorang kepala suku berubah menjadi raja. Bukti yang menunjukkan
adanya pengaruh India dalam kelompok masyarakat Kutai adalah penggunaan
nama yang berunsurkan India pada salah satu pemimpin mereka dalam salah
satu prasasti peninggalannya.
Satu-satunya bukti yang dapat digunakan untuk
menguak sejarah kerajaan Kutai sebagai kerajaan
Hindu tertua di Indonesia, adalah ditemukannya 7
buah prasasti yupa yang diperkirakan berasal dari
sekitar tahun 400M/abad 5M. Yupa adalah tugu batu
peringatan dan tempat menambatkan hewan kurban
dalam upacara-upacara kurban Hindu. Tulisan di
yupa berhuruf Pallawa, berbahasa Sanskerta.
Pada salah satu prasasti yang ditemukan dise-
butkan bahwa Raja Kutai yang memerintah adalah
Mulawarman, anak Aswawarman, cucu Kudungga.
Berdasarkan analisis Prof. Dr. Purbacaraka, Kudungga adalah nama asli Indo-
nesia. Dengan demikian, pada saat Kudungga memerintah, diduga pengaruh
kebudayaan dari India belum datang. Namun, pada saat Aswawarman mulai
memerintah tampaknya pengaruh Hindu mulai datang. Terbukti pada salah
satu prasasti yang ditemukan, Aswawarman disebut Wangsakarta yang merupa-
kan bahasa Sanskerta dari India. Wangsakarta berarti pembentuk keluarga.
b. Bidang Sosial Budaya
Masyarakat Kutai mulai mengenal tulisan dan kebudayaan dari luar karena
pengaruh agama Hindu. Dengan demikian, Bangsa Indonesia sudah mengakhiri
zaman Prasejarah dan mulai memasuki zaman sejarah sebab masyarakat Kutai
sebagai bagian dari Indonesia telah mengenal kebudayaan tertulis.
Bukti yang mendukung pernyataan tersebut adalah penemuan 7 buah yupa
yang bertuliskan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Tulisan yang dipahat di
yupa adalah tulisan yang lazim digunakan oleh kaum Brahmana di India Selatan.
Prasasti peninggalan Kerajaan Kutai yang ditulis menggunakan huruf Pallawa
dan dalam bahasa Sanskerta memberi petunjuk bahwa ada sebagian penduduk
Kutai yang hidup dalam suasana peradaban India. Bahasa Sanskerta bukanlah
bahasa rakyat biasa, tetapi biasa digunakan oleh para brahmana. Kemungkinan
di Kutai pun bahasa Sanskerta digunakan oleh para brahmana. Dengan
demikian, para brahmana kemungkinan juga telah menjadi kelompok masyarakat
tertentu di Kutai.
Kelompok masyarakat lain yang muncul akibat pengaruh kebudayaan In-
dia adalah kelompok ksatria. Di Kutai, kelompok ksatria terdiri atas kerabat
Mulawarman atau terbatas pada orang-orang yang erat hubungannya dengan
raja. Masyarakat di luar kelompok brahmana dan ksatria masih hidup dalam
suasana dan tradisi asli nenek moyang masyarakat Kutai.

Gambar 1.2 Prasasti Yupa

Sumber: Indonesian Heritage, Grolier

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 9

c. Bidang Ekonomi
Tidak begitu banyak keterangan yang didapat mengenai kegiatan ekonomi
masyarakat di Kerajaan Kutai. Namun, diperkirakan mereka hidup dari hasil
pertanian dan peternakan. Kemungkinan hidup dari hasil pertanian didasarkan
pada letak Kerajaan Kutai juga berada di pedalaman Kalimatan dan dekat aliran
Sungai Mahakam. Kehidupan peternakan juga menjadi andalan hidup mereka
mengingat seringnya raja mengadakan upacara persembahan. Misalnya, raja
pernah menghadiahkan 20.000 ekor sapi kepada para brahmana. Di Kerajaan
Kutai sering juga dilakukan upacara Asmawedha atau upacara pelepasan kuda
untuk menentukan batas-batas wilayah kerajaan.

2. Kerajaan Tarumanegara

Kerajaan Hindu tertua kedua di Indonesia terdapat di Jawa Barat. Kerajaan
itu bernama Tarumanegara. Dalam berita Cina, Tarumanegara disebut To-lo-
mo. Berdirinya Kerajaan Tarumanegara diduga bersamaan dengan Kerajaan
Kutai, yaitu pada abad ke-5 M. Bukti yang memperkuat pendapat itu adalah
ditemukannya tujuh prasasti, yaitu Prasasti Citarum (Ciaruteun), Prasasti Kebon
Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi  (Pasir Muara), dan  Prasasti Muara
Cianten (di Bogor); Prasasti Tugu (di Jakarta); Prasasti Lebak Munjul (di Banten
Selatan). Ketujuh prasasti itu ditulis menggunakan  huruf Pallawa  dengan
menggunakan bahasa Sanskerta.
a. Bidang Politik
Pada abad ke-5 M telah berdiri Kerajaan Tarumanegara. Kerajaan
Tarumanegara diperintah oleh  Raja Purnawarman . Raja Purnawarman
merupakan raja yang cakap dan berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, rakyatnya hidup makmur dalam suasana aman dan tenteram.
Pengaruh agama Hindu dan adanya berita dari Cina membuktikan bahwa
Kerajaan Tarumanegara telah mengadakan hubungan dengan luar negeri. Adanya
hubungan dengan luar negeri menyebabkan kehidupan masyarakat
Tarumanegara bertambah maju, baik bidang ilmu pengetahuan maupun bidang
perdagangan.
b. Bidang Sosial Budaya
Hasil peninggalan kebudayaan dari Kerajaan Tarumanegara berupa arca
dan prasasti. Peninggalan kebudayaan berupa tujuh buah prasasti.
Prasasti Ciaruteun ditemukan di daerah Ciaruteun, Jawa Barat. Dalam
Prasasti Ciaruteun, terdapat bekas pahatan tapak kaki yang menerangkan bahwa
sepasang tapak kaki yang dipahatkan tersebut milik Raja Tarumanegara yang
digambarkan seperti tapak kaki Dewa Wisnu.
Prasasti Kebun Kopi  ditemukan di Kampung Muara Hilir, Kecamatan
Cibungbulang. Di situ tergambar dua tapak kaki gajah yang diidentikkan dengan
gajah Airawata (milik Dewa Wisnu).

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 10

Pribadi yang Cakap

Prasasti yang terpenting adalah Prasasti Tugu yang ditemukan di Cilincing,
Jakarta. Prasasti itu berisi, antara lain tentang penggalian sebuah saluran air
sepanjang 6.112 tombak (11 km) yang diberi nama  Gomati. Pekerjan itu
dilakukan pada pemerintahan yang ke-22 dan selesai dalam 21 hari. Prasasti
itu juga menyebutkan penggalian  Sungai Candrabhaga atau  Sungai Bekasi
sekarang (menurut penafsiran Prof. Dr. Purbacaraka).
Prasasti Jambu ditemukan di Bukit Koleangkak, tepatnya 30 km sebelah
barat Bogor. Isi prasasti itu mengagungkan dan menyanjung keperkasaan Raja
Purnawarman, baik dalam pemerintahan maupun dalam peperangan.
Prasasti Pasir Awi  dan  Prasasti Muara Cianten  belum dapat terbaca.
Sementara itu,  Prasasti Lebak ditemukan pada tahun 1947. Meskipun sudah
terbaca, prasasti itu juga belum dapat diketahui maknanya.
Di samping tujuh prasasti itu, ditemukan pula  Arca Rajarsi dan dua Arca
Wisnu dari Cibuaya yang mempunyai langgam seni Pallawa, India Selatan dari
abad ke-7 sampai dengan ke-8 M. Arca itu memiliki persamaan dengan arca
yang ditemukan Malaya (Malaysia), Siam (Thailand), dan Kampuchea.
Diperkirakan kehidupan sosial masyarakat Tarumanegara bertumpu pada
kegiatan pertanian. Aspek gotong royong menjadi pola hidup mereka.
Pembuatan saluran air Gomati merupakan salah satu contoh kehidupan gotong
royong yang mereka lakukan. Pemberian 1.000 ekor hewan sapi dari Raja
Purnawarman kepada para brahmana juga menunjukkan bahwa peternakan
merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat Tarumanegara.
d. Bidang Ekonomi
Pada masa pemerintahan Raja Purnawarman, rakyat hidup aman dan
teratur. Mata pencaharian penduduknya adalah pertanian. Selain itu, untuk
kepentingan rakyat, Raja Purnawarman memerintahkan penggalian saluran air
yang diberi nama Gomati dengan panjang  lebih kurang 11 km. Manfaat saluran
tersebut untuk mengairi sawah dan mencegah bahaya banjir. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa tingkat kehidupan masyarakat Tarumanegara sudah
cukup tinggi.
Kehidupan ekonomi pada kerajaan-kerajaan bercorak Hindu–Buddha
di Indonesia cukup teratur. Anda harus berbangga dan bersyukur
mempunyai nenek moyang yang tangguh dan terkenal sebagai pelaut yang
ulung. Bagaimana cara Anda memanjatkan rasa syukur?
Carilah keunggulan bangsa Indonesia dalam dunia pelayaran dan
perdagangan pada abad XI!
Hasil kerja Anda dikumpulkan kepada bapak/ibu guru Anda!

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 11

3. Kerajaan Sriwijaya

Berdasarkan beberapa prasasti yang ditemukan serta berita dari Cina dan
Arab dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Sriwijaya berdiri pada akhir abad ke-
7. Berdasarkan berita dari Cina yang dibuat pada masa Dinasti T’ang disebutkan
bahwa di pantai timur Sumatra Selatan telah berdiri sebuah kerajaan yang disebut
She-li-fo-she. Nama kerajaan itu diidentikkan dengan Sriwijaya. Pendeta Buddha
dari Cina, I Tsing juga pernah singgah di Sriwijaya dalam perjalanannya ke
India pada tahun 671 M. I Tsing datang lagi ke Sriwijaya pada tahun 685 M
untuk menerjemahkan kitab suci agama Buddha selama empat tahun di bawah
bimbingan Sakyakirti. Jadi, pada abad ke-7 Sriwijaya telah berkembang menjadi
pusat kegiatan ilmiah agama Buddha di Asia Tenggara.
Sekitar tahun 692 M Sriwijaya telah mampu menaklukkan Melayu dan
Tarumanegara. Hal itu diperkuat dengan adanya keterangan pada lima prasasti
yang dikeluarkan Raja Sriwijaya yang ditulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa
Melayu Kuno.
Prasasti tertua tentang Sriwijaya ditemukan di Kedukan Bukit, tepi Sungai
Tatang dekat Palembang. Prasasti itu berangka tahun 683 M dan terdiri atas 10
baris kalimat. Prasasti itu berisi cerita bahwa pada tahun 683 M ada orang
besar bernama  Dapunta Hiyang mengadakan perjalanan suci ( siddhayatra)
dengan membawa 20.000 tentara berangkat dari Minangatamwan naik perahu.
Sementara itu, tentara sebanyak 1.312 berjalan darat datang di Melayu dan
akhirnya membuat Kerajaan Sriwijaya.
Isi Prasasti Kedukan Bukit yang patut disangsikan adalah jumlah tentara
yang mencapai angka 20.000. Benarkah jumlah tersebut? Jika dikaitkan dengan
jumlah penduduk pada waktu itu yang belum banyak, kiranya angka 20.000
itu bukan jumlah yang sebenarnya, melainkan hanya untuk menunjukkan betapa
banyaknya tentara yang dikirim sehingga sulit dihitung. Hal itu diperkuat oleh
isi Prasasti Kedukan Bukit pada baris ke-6 yang menyebutkan bahwa 200 orang
menggunakan perahu dan 1.312 berjalan di darat.
Berdasarkan isi Prasasti Kedukan Bukit itu,  Prof. Dr. Purbacaraka
menyimpulkan bahwa Dapunta Hyang berasal dari Minangkabau. Jika hal itu
benar, Sriwijaya berdiri sekitar tahun 685 karena pada tahun 670–673 Sriwijaya
tidak mengirimkan utusan ke Cina.
Prasasti berikutnya ditemukan di Talang Tuo, dekat Palembang. Prasasti
itu terdiri atas 14 baris kalimat dan berangka tahun 606 Saka atau 684 M.
Prasasti itu menyebutkan bahwa atas perintah  Dapunta Hyang Sri Jayanaga
telah dibuat taman yang disebut Srikesetra untuk kemakmuran semua makhluk.
Di samping itu, juga ada doa-doa yang bersifat Buddha Mahayana.
Prasasti lainnya ditemukan di Kotakapur, Bangka, dan Karang Berahi (Jambi
Hulu). Kedua prasasti itu berangka tahun 686 M dan sebagian besar isinya
sama, yaitu memohon kepada dewa agar menjaga keamanan dan keselamatan
Sriwijaya beserta rajanya serta menghukum setiap orang yang bermaksud jahat

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 12

dan mendurhakai kekuasaan Sriwijaya. Isi prasasti yang paling menarik adalah
pada baris ke-10 yang berbunyi, “Sumpah ini dipahat di batasnya kekuasaan
Sriwijaya yang sangat berusaha menaklukkan bumi Jawa yang tidak tunduk
kepada Sriwijaya.” Dari prasasti itu jelas bahwa Sriwijaya memang berusaha
keras memperluas kekuasaannya dengan menundukkan kerajaan di sekitarnya,
seperti Melayu, Tulangbawang, dan Tarumanegara (Bumi Jawa) sehingga pada
waktu itu tidak sempat mengirimkan utusannya ke Cina.
Prasasti yang ke-5 ditemukan di Palas Pasemah, Lampung Selatan. Prasasti
itu menyebutkan bahwa daerah Lampung Selatan pada waktu itu sudah diduduki
Sriwijaya. Raja Sriwijaya menjatuhkan kutukan yang seram bagi mereka yang
melakukan kejahatan dan tidak taat terhadap perintahnya.
a. Bidang Politik
Zaman keemasan Sriwijaya terwujud pada abad ke-8 dan ke-9 ketika di-
perintah Balaputradewa. Menurut Prasasti Ligor (775 M), Sriwijaya saat itu
diperintah oleh Raja Dharmasetu dan telah mendirikan pangkalan di Semenan-
jung Malaya (daerah Ligor). Prasasti itu juga menyebutkan seorang raja yang
bernama Wisnu dari keluarga Syailendra. Nama raja itu dijumpai pada prasasti
(Jawa Tengah) dengan nama Sanggramadananjaya (Dananjaya atau Wisnu).
Berdasarkan Prasasti Nalanda (India) diketahui bahwa Balaputradewa adalah
cucu seorang raja dari Jawa yang berasal dari keluarga Syailendra ( Sri
Wirawairimathana). Ayahnya bernama Samaragrawira atau Samaratungga yang
kawin dengan Dewi Tara putri dari Raja Dharmasetu (Sriwijaya). Samaratungga
memerintah tahun 824 M.
Dinasti Syailendra terdesak oleh Dinasti Sanjaya. Balaputradewa yang
merupakan keturunan Dinasti Syailendra melarikan diri ke Sriwijaya dan
bertakhta menjadi raja. Sejak pemerintahan  Dharmasetu, Sriwijaya berhasil
membangun negaranya menjadi besar. Dengan armada laut yang kuat, Sriwijaya
berhasil menguasai jalur-jalur perdagangan antara India dan Cina, baik di Selat
Malaka, Selat Sunda, maupun di Semenanjung Malaya dan Tanah Genting Kra.
Sejak saat itu, Sriwijaya tumbuh menjadi kerajaan maritim yang besar di Asia
Tenggara dan menguasai perdagangan laut.
1) Hubungan Sriwijaya dengan Kerajaan Pala
Berdasarkan sebagian isi Prasasti Nalanda disebutkan bahwa setelah naik
takhta, Balaputradewa segera menjalin hubungan dengan Kerajaan Pala yang
diperintah oleh Raja Dewapala. Hubungan itu mengandung tiga maksud, yaitu:
a) membentengi Kerajaan Sriwijaya agar lebih kuat;
b) meningkatkan hubungan perdagangan;
c) memperdalam pengetahuan agama Buddha karena di India telah berdiri
Perguruan Tinggi Nalanda.

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 13

Karena hubungan baik itu, banyak biksu dari Sriwijaya yang belajar di
Nalanda. Untuk keperluan itulah, Raja Dewapala berkenan memberikan hadiah
tanah kepada Balaputradewa untuk pembangunan wihara. Wihara itu digunakan
bagi kepentingan para peziarah dari Suwarnadwipa (Sumatra) yang sedang
belajar agama Buddha dan pengetahuan lainnya di Nalanda.
Setelah menyelesaikan pelajarannya di Nalanda, para biksu pulang dan
mengajarkan ilmunya di Sriwijaya. Oleh karena itu, Sriwijaya tumbuh menjadi
pusat pengajaran agama Buddha terbesar di Asia Tenggara. Ini terbukti dengan
datangnya pendeta Buddha dari Tibet bernama Atisa pada tahun 1011–1023
untuk memperdalam agama Buddha di bawah asuhan pendeta tertinggi di
Sriwijaya, yaitu Dharmakirti.
2) Hubungan Sriwijaya dengan Kerajaan Colamandala
Sampai kapan Balaputradewa memerintah, tidak ada bukti-bukti tertulis
yang menjelaskan. Akan tetapi, pada tahun 990 Sriwijaya diserang oleh Raja
Dharmawangsa dari Jawa Timur. Pada waktu itu Sriwijaya dipimpin  Sri
Cudamaniwarmadewa. Setelah raja itu mangkat, digantikan oleh putranya, yaitu
Marawijayottunggawarman. Ia mengaku keturunan Raja Syailendra. Ia tidak mau
mengakui kekuasaan Dharmawangsa. Untuk memperkuat kedudukannya, ia
menjalin hubungan dengan Kerajaan Colamandala (India Selatan) yang saat itu
diperintah oleh Rajakesariwarman Raja-Raja I.
Hubungan Sriwijaya dengan Kerajaan Colamandala itu berjalan baik se-
hingga Raja Sriwijaya oleh Raja Colamandala diperbolehkan mendirikan
wihara di daerah Nagipattana pada tahun 1006. Berkat kerja sama dengan
Colamandala, kekuasaan dan kewibawaan Sriwijaya pulih sehingga dapat me-
nguasai kembali jalur perdagangan India–Cina melalui Selat Malaka.
Dalam perkembangan selanjutnya, kebesaran Sriwijaya dianggap menyaingi
dan merugikan perdagangan Colamandala. Sejak saat itu, hubungan kedua
kerajaan mulai retak, bahkan berubah menjadi permusuhan. Ketegangan itu
terjadi ketika Kerajaan Colamandala diperintah oleh  Rajendracoladewa dan
Sriwijaya diperintah oleh  Sri Sanggramawijayottunggawarman. Pada tahun
1023 Sriwijaya dan Kedah diserang oleh Rajendracoladewa dan diulangi lagi
pada tahun 1030. Raja Sriwijaya dapat ditawan. Hal itu diterangkan oleh Prasasti
Tanjore yang berangka tahun 1030.
Serangan Rajendracoladewa itu tidak bermaksud untuk menduduki dan
menjajah Sriwijaya. Namun, serangan itu hanya untuk menghancurkan
kekuasaan laut Sriwijaya. Tujuannya,  agar India dapat menguasai lagi jalur
perdagangannya dengan Cina melalui Selat Malaka dan Selat Sunda.
3) Hubungan Sriwijaya dengan Cina
Sriwijaya juga menjalin hubungan dengan Negeri Cina. Sriwijaya sering
mengirim utusannya kepada Kaisar Cina dengan membawa berbagai macam
hadiah. Hal itu dimaksudkan agar Kaisar Cina tidak menyerang Sriwijaya. Para
pendeta Buddha dari Cina pun banyak yang belajar agama Buddha di Sriwijaya,
misalnya I Tsing.

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 14

Raja Sriwijaya, bahkan pada abad ke-9 mengirimkan utusannya ke Cina
untuk ikut serta memperbaiki Kuil Taqist di Kanton. Dengan hubungan diplomasi
yang baik, Sriwijaya ternyata dapat terhindar dari kemungkinan serbuan
pasukan Cina.
b. Bidang Sosial Budaya
Kerajaan Sriwijaya karena letaknya yang strategis dalam lalu lintas
perdagangan internasional menyebabkan masyarakatnya lebih terbuka dalam
menerima berbagai pengaruh asing. Masyarakat Sriwijaya juga telah mampu
mengembangkan bahasa komunikasi dalam dunia perdagangannya.
Kemungkinan bahasa Melayu Kuno telah digunakan sebagai bahasa pengantar
terutama dengan para pedagang dari Jawa Barat, Bangka, Jambi, dan
Semanjung Malaysia.
Penduduk Sriwijaya juga bersifat terbuka dalam menerima berbagai
kebudayaan yang datang. Salah satunya adalah mengadopsi kebudayaan India,
seperti nama-nama India, adat istiadat, serta tradisi dalam agama Hindu. Oleh
karena itu, Sriwijaya pernah menjadi pusat pengembangan ajaran Buddha di
Asia Tenggara.
c. Bidang Ekonomi
Untuk menjaga keamanan wilayah lautnya yang luas, Sriwijaya membangun
armadanya dengan kuat. Dengan demikian, perdagangan yang berlangsung di
Sriwijaya dapat berjalan aman sehingga rakyatnya dapat hidup aman dan makmur.
Sebagian besar penduduk Sriwijaya hidup dari hasil perdagangan dan pelayaran.
Dari wilayah lautnya yang luas, Sriwijaya banyak memperoleh bea cukai dari
kapal-kapal dagang yang melintasi atau singgah di pelabuhan milik Sriwijaya.
Sriwijaya menjual barang-barang produksinya, seperti emas, perak, gading,
penyu, kemenyan, kapur barus, lada, dan damar. Para pedagang asing dapat
menukarnya dengan aneka porselin, kain katun, dan sutra.
Kemajuan pesat dari Kerajaan Sriwijaya selain karena rajanya cakap, gagah
berani, dan bijaksana, juga didukung oleh faktor yang menguntungkan. Faktor-
faktor itu, antara lain sebagai berikut.
1) Letaknya strategis berada pada jalur perdagangan India–Cina.
2) Sriwijaya telah menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, Semenanjung Malaya,
dan Tanah Genting Kra sebagai pusat perdagangan.
3) Hasil bumi Sriwijaya dan sekitarnya sebagai mata perdagangan yang
berharga, terutama rempah-rempah dan emas tersedia banyak.
4) Armada lautnya kuat sehingga mampu menjalin hubungan dan kerja sama
dengan Kerajaan India dan Cina.
5) Pendapatan Sriwijaya melimpah ruah yang berasal dari:
a) bea cukai barang dagangan yang keluar-masuk,
b) bea cukai kapal asing yang melalui bandarnya,
c) upeti para pedagang dan raja taklukan, dan
d) hasil bumi serta hasil perdagangan sendiri.

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 15

Kronik

Menurut berita dari Cina ( Chau-Yu-Kua), Kerajaan Sriwijaya mengalami
masa kemunduran pada akhir abad ke-12. Hal itu dikuatkan oleh kitab sejarah
dari Dinasti Sung yang menyatakan bahwa Sriwijaya mengirimkan utusannya
yang terakhir pada tahun 1178.
Penyebab kemunduran Sriwijaya, antara lain sebagai berikut.
1) Berulang kali diserang oleh Kerajaan Colamandala dari India.
2) Kerajaan taklukan Sriwijaya banyak yang melepaskan diri dari kekuasaannya,
misalnya Ligor, Tanah Kra, Kelantan, Pahang, Jambi, dan Sunda.
3) Terdesak oleh perkembangan kerajaan di Thailand yang meluaskan
pengaruhnya ke arah selatan (Semenanjung Malaya).
4) Terdesak pengaruh Kerajaan Singasari yang menjalin hubungan dengan
Kerajaan Melayu (Jambi).
5) Mundurnya perekonomian dan perdagangan Sriwijaya karena bandar-
bandar pentingnya sudah melepaskan diri dari Sriwijaya.
6) Kemungkinan juga tidak adanya tokoh yang cakap dan berwibawa untuk
memimpin kerajaan sebagai akibat dari kurangnya pengaderan.
Kejayaan Sriwijaya
Kejayaan Kerajaan Sriwijaya meliputi :
a. Bidang Politik
Kerajaan Sriwijaya bukan lagi merupakan negara senusa. Artinya,
Sriwijaya bukan merupakan negara yang berkuasa atas sebuah pulau, seperti

Gambar 1.3 Peta daerah pengaruh dan kawasan maritim Kerajaan Sriwijaya (Abad VIII–XI)

Sumber: Atlas dan Lukisan Sejarah Nasional Indonesia

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 16

Kejar Pohon Ilmu

Kutai, Tarumanegara, atau Kaling, melainkan sudah merupakan negara
antarnusa. Artinya, negara yang wilayahnya terdiri atas beberapa pulau.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Sriwijaya adalah negara nasional
pertama Indonesia.
b. Bidang Ekonomi
Kerajaan Sriwijaya menguasai perdagangan nasional dan internasional
di wilayah perairan Asia Tenggara. Perairan Laut Natuna, Selat Malaka,
Laut Jawa, dan Selat Sunda berada di bawah kekuasaannya.
c. Bidang Agama
Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha Mahayana di wilayah
Asia Tenggara. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Dharmakirti.
Carilah artikel di media cetak atau internet yang membahas tentang
peninggalan kerajaan-kerajaan di Indonesia yang bercorak Hindu–Buddha.
Bagaimana menurut Anda upaya untuk  melestarikan peninggalan kerajaan
yang merupakan kekayaan budaya Indonesia?

4. Kerajaan Mataram Kuno

Berdasarkan keterangan pada Prasasti Canggal yang ditemukan di Desa
Canggal (sebelah barat Magelang), diketahui secara jelas kehidupan politik di
Mataram Kuno. Prasasti Canggal diperkirakan dibuat pada tahun 732 Masehi,
ditulis dengan huruf Pallawa dengan menggunakan bahasa Sanskerta.

Gambar 1.4 Peta Wilayah Kerajaan Mataram Kuno
Sumber: Atlas Sejarah, Mastara 2004

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 17

a. Kehidupan Politik
Sebelum Sanjaya berkuasa, Mataram Kuno diperintah oleh  Raja Sanna
(paman Sanjaya). Berdasarkan kitab Carita Parahyangan, masa pemerintahan
Sanna dan Sanjaya dapat diketahui.  Berdasarkan Prasasti Sojomerto diketahui
bahwa Sanjaya adalah keturunan Raja Syailendra yang beragama Syiwa, tetapi
menyuruh anaknya, Rakai Panangkaran, beralih ke agama Buddha (Syaila artinya
gunung tempat bersemayam dewa; indra artinya raja).
Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya. Isi utamanya adalah
memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang Syiwa) di atas sebuah bukit
di daerah Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya. Daerah ini letaknya di sebuah pulau
mulia, Jawadwipa yang kaya raya akan hasil bumi, terutama padi dan emas.
Prasasti Canggal ditemukan di halaman sebuah candi yang sudah runtuh
di Gunung Wukir dengan candrasengkala, sruitiindriyarasa (artinya 654 Saka
atau 732 Masehi).
Selain dari Prasasti Canggal, nama Sanjaya juga tercantum pada Prasasti
Mantyasih (Prasasti Kedu) yang dikeluarkan oleh Raja Dyah Balitung. Di dalam
prasasti itu dituliskan nama raja yang pernah berkuasa di Mataram Kuno sejak
Raja Sanjaya sampai dengan Balitung.
Urutan Raja Mataram Kuno adalah sebagai berikut:
1) Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya,
2) Sri Maharaja Rakai Panangkaran,
3) Sri Maharaja Rakai Panunggalan,
4) Sri Maharaja Rakai Warak,
5) Sri Maharaja Rakai Garung,
6) Sri Maharaja Rakai Pikatan,
7) Sri Maharaja Rakai Kayuwangi,
8) Sri Maharaja Rakai Watuhumalang, dan
9) Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung.
Kerajaan Mataram Kuno berkembang pesat karena didukung oleh beberapa
faktor berikut ini.
1) Raja-rajanya cukup arif dan bijaksana sehingga menjadi panutan yang baik.
2) Ada kerja sama yang baik antara raja dan para brahmana atau biksu.
3) Wilayahnya amat subur sehingga kehidupan rakyatnya makmur.
4) Ada toleransi yang tinggi antara pemeluk agama Hindu dan Buddha
sehingga rakyat hidup rukun berdampingan.
5) Mataram telah menjalin hubungan dengan kerajaan di seberang lautan,
misalnya Sriwijaya, Siam (Thailand), dan India.
Sanjaya adalah seorang raja yang besar, gagah berani, dan bijaksana serta
sangat toleran terhadap agama lain. Karena kewibawaannya, Sanjaya bergelar
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Raja Sanjaya ternyata mempunyai arti dan
pengaruh yang besar kepada raja-raja penggantinya sampai sekitar abad ke-10.

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 18

Raja Sanjaya sebelum wafat, menderita sakit yang sangat parah karena ingin
mematuhi perintah gurunya. Putranya yang bernama Sankhara atau mungkin
lengkapnya Rakai Panangkaran Dyah Sankhara Sri Sanggramadhanjaya karena
trauma dan takut terjadi seperti ayahnya kemudian meninggalkan agama Syiwa
beralih menjadi pemeluk Buddha Mahayana.
Mulai kapan raja ini memerintah, tidak jelas. Dari berbagai sumber,
disebutkan bahwa Raja Panangkaran lebih progresif dan bijaksana daripada
Sanjaya sehingga Mataram Kuno lebih cepat berkembang. Daerah-daerah sekitar
Mataram Kuno segera ditaklukkannya, seperti Kerajaan Galuh di Jawa Barat dan
Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaya. Selain itu, Selat Malaka pun ingin
dikuasainya.  Daerah-daerah itu tidak diperlakukan sebagai jajahannya, tetapi
berkembang maju dengan bimbingan dan kerja sama dengan Mataram Kuno.
Pada tahun 778 M Raja Panangkaran atau Maharaja Tejah Purnapana Mustika
membangun bangunan suci (candi) untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk
para pendeta. Raja kemudian menghadiahkan Desa Kalasan kepada para sanggha
(penganut Buddha). Prasasti itu ditulis dengan  huruf Pranagari dalam bahasa
Sanskerta dan berangka 778 M. Candi Kalasan itu sampai sekarang masih berdiri
megah, terletak di Desa Kalasan (12 km ke arah timur dari Yogyakarta).
Sejak pemerintahan Raja Panangkaran, keluarga Syailendra terbagi menjadi
dua kelompok penganut agama. Sebagian tetap menganut agama Hindu Syiwa
dan yang lain menganut agama Buddha. Meskipun demikian, mereka hidup
berdampingan secara damai.
Raja-raja Mataram Kuno beragama Buddha, berkuasa di Jawa Tengah
bagian selatan yang berpusat di Lembah Sungai Progo (Magelang). Daerah itu
sangat subur dan dikelilingi oleh gunung-gunung berapi yang banyak
memancarkan mata air sehingga sangat ideal untuk kegiatan pertanian.
Sungainya penuh terisi oleh batu-batu andesit yang besar-besar dan keras
sebagai modal utama dalam membangun candi-candi.
Raja-raja penganut agama Buddha keturunan Syailendra yang pernah
memerintah di Jawa Tengah, antara lain  Raja Bhanu, Raja Wisnu  (Sri
Dharmatungga), Raja Indra (Sri Sanggramadananjaya), Raja Samaratungga, dan
Ratu Pramodhawardani. Raja-raja itu berkuasa selama satu abad (750–850 M).
Saat itu menjadi masa yang cemerlang (zaman keemasan) bagi Mataram Kuno
(Buddha). Hal itu dibuktikan dengan pembangunan candi Buddha yang megah,
seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, Candi Sari, Candi Pawon, Candi Mendut,
dan Candi Borobudur.
Untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya, Mataram Kuno menjalin
hubungan dengan kerajaan tetangga, misalnya Sriwijaya, Siam, dan India. Selain
itu, Mataram Kuno juga menggunakan sistem perkawinan politik. Misalnya,
pada masa pemerintahan Samaratungga berusaha menyatukan kembali Wangsa
Syailendra  dan  Wangsa Sanjaya  dengan cara anaknya yang bernama
Pramodhawardhani (dari Wangsa Syailendra) dinikahkan dengan Rakai Pikatan
(Wangsa Sanjaya).

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 19

Raja-raja Mataram Kuno beragama Hindu mula-mula berkuasa di Jawa
Tengah bagian utara, terutama di sekitar Pegunungan Dieng. Hal itu dapat
dibuktikan dengan adanya kompleks bangunan candi Hindu di Dataran Tinggi
Dieng, seperti Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Arjuna,
dan Candi Sembadra. Kompleks Candi Dieng dibangun sekitar tahun 778–
850. Selain itu, dibangun pula Kompleks Candi Gedong Sanga yang terletak di
sebelah selatan Kota Semarang sekarang.
Berkat kecakapan dan keuletan Rakai Pikatan, semangat kebudayaan Hindu
dapat dihidupkan kembali. Kekuasaannya pun bertambah luas meliputi seluruh
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Rakai Pikatan segera memulai pembangunan
candi Hindu yang lebih besar dan indah, yaitu Candi Prambanan (Candi Lara
Jonggrang) di Desa Prambanan. Ketika Rakai Pikatan wafat, pembangunan
Kompleks Candi Prambanan belum selesai. Pekerjaan diteruskan para
penggantinya dan baru selesai pada pemerintahan  Raja Daksa sekitar tahun
915. Candi Hindu lainnya adalah Candi Sambisari, Candi Ratu Baka, dan Candi
Ijo dan candi Barong.
Pengganti Rakai Pikatan adalah Rakai Kayuwangi yang banyak menghadapi
persoalan rumit sehingga timbullah benih perpecahan di antara keluarga
kerajaan. Zaman keemasan Mataram Kuno mulai memudar. Setelah Rakai
Kayuwangi mangkat, perang saudara pun tidak dapat terelakkan.
Menurut Prasasti Munggu Antan, pengganti Rakai Kayuwangi adalah Rakai
Gurunwangi (886) dan  Rakai Limus Dyah Dawendra  (890). Akan tetapi,
berdasarkan  Prasasti Kedu , pengganti Rakai Kayuwangi adalah  Rakai
Watuhumalang yang berputra, Dyah Balitung.
Dyah Balitung memerintah sampai tahun 910. Dyah Balitung banyak
meninggalkan prasasti (20 buah), sebagian ditemukan di Jawa Timur. Ada
prasasti yang menyebutkan bahwa Raja Balitung pernah menyerang  Bantan
(Bali). Prasasti yang penting adalah Prasasti Mantyasih (Kedu) yang berisi silsilah
raja-raja Mataram Kuno dari Sanjaya sampai dengan Dyah Balitung. Pada masa
pemerintahan Raja Balitung dikenal tiga jabatan penting, yaitu rakryan i hino
(pejabat tinggi sesudah raja), rakryan i halu, dan rakryan i sirikan. Ketiganya
merupakan tritunggal.
Pengganti Balitung adalah Daksa dengan gelar Sri Maharaja Sri Daksottama
Bahubajra Pratipaksaksaya . Sebelumnya, ia menjabat  rakryan i hino . Ia
memerintah dari tahun 913 sampai dengan 919. Pada masa pemerintahan
Raja Daksa inilah Candi Prambanan berhasil diselesaikan.
Pada tahun 919 Daksa digantikan oleh Tulodhong yang bergelar Sri Maharaja
Rakai Layang Dyah Tulodhong Sri Sajanasan mattanuragatunggadewa. Masa
pemerintahan Tulodhong sangat singkat dan tidak terjadi hal-hal yang menonjol.
Pengganti Tulodhong ialah Wawa. Ia naik takhta pada tahun 924 dengan
gelar Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wajayalokanamottungga.
Sri Baginda dibantu Empu Sindok Sri Isanawikrama yang berkedudukan sebagai
mahamantri i hino.

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 20

b. Kehidupan Sosial
Kerajaan Mataram Kuno meskipun dalam praktik keagamaannya terdiri
atas agama Hindu dan agama Buddha, masyarakatnya tetap hidup rukun dan
saling bertoleransi. Sikap itu dibuktikan ketika mereka bergotong royong dalam
membangun Candi Borobudur. Masyarakat Hindu yang sebenarnya tidak ada
kepentingan dalam membangun Candi Borobudur, tetapi karena sikap toleransi
dan bergotong royong yang telah mendarah daging turut juga dalam
pembangunan tersebut.
Keteraturan kehidupan sosial di Kerajaan Mataram Kuno juga dibuktikan
adanya kepatuhan hukum pada semua pihak. Peraturan hukum yang dibuat
oleh penduduk desa ternyata juga dihormati dan dijalankan oleh para pegawai
istana. Semua itu bisa berlangsung karena ada hubungan erat antara rakyat dan
kalangan istana.
c. Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Pusat Kerajaan Mataram Kuno terletak di Lembah Sungai Progo, meliputi
dataran Magelang, Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Daerah itu amat subur
sehingga rakyat menggantungkan kehidupannya pada hasil pertanian. Usaha
untuk mengembangkan dan meningkatkan hasil pertanian telah dilakukan sejak
masa pemerintahan Kayuwangi.
Usaha perdagangan juga mulai mendapat perhatian ketika Raja Balitung
berkuasa. Pada  Prasasti Purworejo  (900 M) disebutkan bahwa raja telah
memerintahkan untuk membuat beberapa pusat perdagangan. Keterangan lain
juga didapatkan dari  Prasasti Wonogiri (903 M) yang menyebutkan bahwa
penduduk di sekitar kanan-kiri aliran Sungai Bengawan Solo diperintahkan untuk
menjamin kelancaran arus lalu lintas perdagangan melalu aliran sungai tersebut.
Sebagai imbalannya, penduduk desa di kanan-kiri sungai tersebut dibebaskan
dari pungutan pajak. Lancarnya pengangkutan perdagangan melalui sungai
tersebut dengan sendirinya akan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan
rakyat Mataram Kuno.
d. Kehidupan Kebudayaan
Semangat kebudayaan raja-raja Mataram Kuno sangat tinggi. Hal itu
dibuktikan dengan banyaknya peninggalan berupa prasasti dan candi. Prasasti
peninggalan dari Kerajaan Mataram Kuno, seperti Prasasti Canggal (tahun 732
M), Prasasti Kelurak (tahun 782 M), dan Prasasti Mantyasih (Kedu). Selain itu,
juga dibangun candi Hindu, seperti Candi Bima, Candi Arjuna, Candi Nakula,
Candi Prambanan, Candi Sambisari, Candi Ratu Baka, dan Candi Barong.
Selain candi Hindu, dibangun pula candi Buddha, misalnya Candi Borobudur,
Candi Kalasan, Candi Sewu, Candi Sari, Candi Pawon, dan Candi Mendut.
e. Masa Kemunduran Kerajaan Mataram Kuno
Pada masa pemerintahan Raja Balitung (907) wilayah Kerajaan Mataram
Kuno juga telah meliputi daerah-daerah di Jawa Timur terutama Lembah Sungai
Brantas yang subur. Daerah itu amat penting untuk pertanian dan pelayaran

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 21

sungai menuju Laut Jawa. Sementara itu, kedudukan ibu kota Mataram Kuno
makin tidak menguntungkan. Hal ini disebabkan:
1) tidak memiliki pelabuhan laut sehingga sulit berhubungan dengan dunia
luar,
2) sering dilanda bencana alam oleh letusan Gunung Merapi,
3) sering terjadi perebutan kekuasaan sehingga kewibawaan kerajaan berkurang,
dan
4) mendapat ancaman serangan dari Kerajaan Sriwijaya.
Oleh karena itu, pada tahun 929 ibu kota Mataram Kuno dipindahkan ke
Jawa Timur (di bagian hilir Sungai Brantas) oleh Empu Sindok. Kerajaan itu
kemudian dikenal sebagai Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur.

5. Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur

Beberapa ahli sejarah berpendapat tentang alasan perpindahan Kerajaan
Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh Empu Sindok. Pertama,
karena adanya serangan dari Sriwijaya sebagai bentuk hukuman kepada bhumi
Jawa. Kedua, adanya bencana alam berupa gunung meletus, mengingat banyak
kita temukan gunung berapi di Jawa Tengah.
Kerajaan baru yang dipindahkan Empu Sindok dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur tetap bernama Mataram. Hal itu seperti yang disebutkan dalam Prasasti
Paradah yang berangka tahun 865 Saka (943 M) dan  Prasasti Anjukladang
yang berangka tahun 859 Saka (973 M). Letak ibu kota kerajaannya tidak ada
sumber yang pasti menyebutkan. Berdasarkan Prasasti Paradah dan Prasasti
Anjukladang disebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur
adalah Watugaluh. Kemungkinan ibu kota itu berada di Desa Watugaluh
sekarang, dekat Jombang di tepi Sungai Brantas. Akan tetapi, berdasarkan
Prasasti Taryyan yang berangka tahun 851 Saka (929 M) disebutkan bahwa
ibu kota Mataram Kuno di Jawa Timur adalah Tomwlang. Diperkirakan nama
Tomwlang identik dengan nama desa di Jombang (Jawa Timur).
a. Bidang Politik
Silsilah raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram Kuno di Jawa
Timur, antara lain sebagai berikut.
1) Empu Sindok (929–947)
Setelah naik takhta pada tahun 929, Empu Sindok bergelar Sri Maharaja
Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmattunggadewa . Dia naik takhta karena
menikahi putri Wawa. Namun, Empu Sindok menganggap dirinya sebagai
pembentuk dinasti baru, yaitu Dinasti Isana. Empu Sindok merupakan peletak
batu pertama berdirinya kerajaan besar di Jawa Timur.
Empu Sindok berpengalaman mengatur kerajaan sehingga dapat
menjalankan roda pemerintahan dengan lancar, aman, dan tertib. Dengan
demikian, perekonomian rakyatnya pun makin baik.

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 22

Empu Sindok banyak meninggalkan prasasti. Bahkan, ia pun merestui usaha
menghimpun kitab suci agama Buddha Tantrayana. Ini membuktikan betapa
besar toleransinya terhadap agama lain dan perhatiannya terhadap bidang sastra.
Kitab tersebut berjudul Sang Hyang Kamahayanikan yang berisi ajaran dan tata
cara beribadah agama Buddha.
2) Sri Isanatunggawijaya
Setelah Empu Sindok wafat, tampuk pemerintahan dipegang oleh putrinya,
Sri Isanatunggawijaya yang menikah dengan Raja Lokapala. Perkawinan tersebut
melahirkan  Makutawangsawardhana  yang nantinya menggantikan ibunya
memerintah di Watugaluh atau di Tomwlang.
Masa pemerintahan dan apa yang diperbuat oleh kedua raja tersebut tidak
banyak yang kita ketahui. Makutawangsawardhana mempunyai putri cantik,
yaitu Mahendradatta (Gunapriyadharmapatni). Putri itu kemudian menikah
dengan Raja Udayana dari keluarga Warmadewa yang memerintah di Bali.
3) Dharmawangsa (991–1016)
Pengganti Raja Makutawangsawardhana ialah Sri Dharmawangsa Teguh
Anantawikramatunggadewa. Siapa sebenarnya Dharmawangsa itu sampai
sekarang belum diketahui dengan pasti. Ada yang menduga bahwa
Dharmawangsa adalah kakak Mahendradatta putra Makutawangsawardhana.
Nama Dharmawangsa dikenal dari kitab Wirataparwa yang disadur ke dalam
bahasa Jawa Kuno atas perintah Dharmawangsa. Kitab Wirataparwa merupakan
bagian dari kitab Mahabharata yang terdiri atas 18 bagian. Isi pokok kitab itu
adalah kisah perang besar antarkeluarga Bharata, yaitu Pandawa dan Kurawa.
Kitab Mahabharata digubah oleh Pendeta Wyasa Kresna Dwipayana. Di samping
itu, pada tahun 991 disusun kitab hukum Siwasasana.
Dharmawangsa adalah seorang raja yang cakap dan punya cita-cita besar.
Ia ingin menguasai seluruh Jawa dan pulau-pulau di sekitarnya. Dharmawangsa
juga ingin mengembangkan perekonomiannya melalui perdagangan laut. Untuk
mewujudkan cita-citanya, Dharmawangsa segera membangun armada laut yang
kuat. Pada masa itu pada saat bersamaan di Sumatra telah berdiri Kerajaan
Sriwijaya yang telah berkembang besar dan menguasai jalur perdagangan Selat
Malaka, Semenanjung Malaya, Selat Sunda, dan pesisir barat Sumatra. Hal itu
dianggap sebagai saingan berat dan penghalang cita-cita Dharmawangsa. Oleh
karena itu, Sriwijaya harus dimusnahkan.
Pada tahun 990 Dharmawangsa mengirimkan pasukannya untuk menyerbu
Sriwijaya dan Semenanjung Malaya. Pasukan Dharmawangsa berhasil
menduduki beberapa daerah pantai Sriwijaya dan memutuskan hubungan
Sriwijaya dengan dunia luar. Kejadian itu dibenarkan oleh sumber berita dari
Cina (992) yang menyebutkan bahwa utusan Sriwijaya ke Cina tidak dapat
kembali (berhenti di Kanton) karena Sriwijaya diduduki musuh.

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 23

Sriwijaya menjadi lemah, tetapi secara diam-diam melakukan gerakan bawah
tanah (subversi) ke Jawa dan menghasut adipati (raja bawahan) yang kurang
loyal terhadap Dharmawangsa agar bersedia memberontak. Usaha itu rupanya
termakan juga oleh seorang adipati yang bernama Wurawari (dari daerah sekitar
Banyumas sekarang).
Dalam peristiwa penyerbuan ke Kerajaan Dharmawangsa itu ternyata ada
tokoh penting yang berhasil lolos dari maut. Dia adalah  Airlangga, putra
Mahendradatta (dari Bali) yang saat itu sedang dinikahkan dengan putri
Dharmawangsa. Airlangga berhasil menyelamatkan diri masuk hutan ditemani
pengiringnya yang setia, Narottama.
Setelah keadaan kembali tenang, Airlangga didatangi oleh para pendeta
dan brahmana. Mereka meminta Airlangga agar bersedia dinobatkan menjadi
raja. Permintaan itu mula-mula ditolak dan baru pada tahun 1019 Airlangga
bersedia dinobatkan menjadi raja menggantikan Dharmawangsa.
4) Pemerintahan Airlangga
Airlangga setelah naik takhta bergelar Sri Maharaja Rakai Halu Lokeswara
Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Awalnya, Airlangga
hanya merupakan raja kecil dengan daerah kekuasaan yang sangat terbatas.
Raja-raja bawahan Dharmawangsa tidak mau mengakui kekuasaan Airlangga.
Setelah berjuang dan berperang selama tujuh tahun, pada tahun 1035 Airlangga
berhasil menyatukan kembali wilayah kerajaannya dan pusat kerajaan
dipindahkan ke Kahuripan (1037).
b. Bidang Sosial budaya
Kehidupan keagamaan pada masa pemerintahan Airlangga pun diperhati-
kan. Hal itu diwujudkan, antara lain dengan mendirikan tempat pemujaan dan
pertapaan, misalnya Pertapaan Pucangan di lereng Gunung Penanggungan.
Terjadi pula perkembangan di bidang sastra. Pada masa itu telah dihasilkan
karya sastra dengan judul Arjuna Wiwaha yang ditulis oleh Empu Kanwa pada
tahun 1035. Kitab itu berisi kisah kiasan terhadap kehidupan Raja Airlangga
yang diidentifikasikan sebagai tokoh Arjuna. Agama yang berkembang pada
saat itu ialah Hindu aliran Wisnu atau Waisnawa sehingga Airlangga dianggap
sebagai titisan Dewa Wisnu yang bertugas memelihara perdamaian dunia.
c. Bidang Ekonomi
Pada masa pemerintahan Dharmawangsa, pembangunan dilaksanakan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan itu dilakukan dengan
membuat saluran irigasi serta memperbaiki tanggul Sungai Brantas di Waringin
Sapta, Pelabuhan Ujung Galuh, dan Kembang Putih di Tuban. Hal itu
dimaksudkan untuk memperlancar pelayaran dan perdagangan laut dengan
dunia luar, seperti India, Burma (Myanmar), dan Kampuchea.

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 24

Airlangga mempunyai beberapa orang putra. Putra sulungnya seorang
putrid bernama Sri Sanggramawijaya Dharmaprasadottunggadewi. Dialah yang
dicalonkan menjadi pengganti Airlangga. Akan tetapi, ia tidak bersedia dan
lebih suka menjadi seorang pertapa yang kemudian terkenal dengan nama Dewi
Kilisuci.
Setelah putrinya mengundurkan diri dari hal-hal duniawi, Airlangga
memutuskan untuk membagi kerajaannya menjadi Jenggala dan Panjalu (Kediri).
Hal itu dimaksudkan agar kelak tidak terjadi perang saudara berebut kekuasaan.
Pembagian kerajaan dilakukan pada tahun 1041 oleh Empu Bharada.

6. Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan Kerajaan Kahuripan (Airlangga).
Karena mempunyai beberapa orang putra, Airlangga membagi kerajaannya
menjadi dua agar tidak terjadi perebutan kekuasaan.
a. Kerajaan Jenggala dengan Ibu Kota Kahuripan
Kerajaan Jenggala diperkirakan terletak di sebelah utara Sungai Brantas.
Wilayahnya, meliputi Delta Sungai Brantas, Malang, Rembang, dan Pasuruan.
Pemerintahan Jenggala dipegang oleh Raja Panji Garasakan (putra Airlangga).
b. Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan Ibu Kota Daha
Kerajaan Panjalu terletak di sebelah selatan Sungai Brantas. Wilayahnya,
meliputi Kediri, Madiun, dan daerah di sebelah baratnya. Pemerintahan di Kediri
(Panjalu) dipegang oleh Sri Samarawijaya yang sebelumnya menjabat sebagai
rakyan mahamenteri i hino menggantikan putri Sri Sanggramawijaya.
Sekitar tahun 1044 Masehi terjadi peperangan antara Kediri dan Jenggala.
Sri Samarawijaya berhasil dikalahkan oleh Garasakan dari Jenggala. Sejak saat
itu, Kerajaan Kediri (Panjalu) tidak terdengar lagi dalam sejarah untuk sementara
waktu.
Perebutan kekuasaan antara Jenggala dan Kediri (Panjalu) rupanya
berlangsung terus hingga tahun 1052 Masehi. Pada tahun itu  Raja Mapanji
Alanjung Ahyes  berhasil menundukkan Kerajaan Jenggala. Akan tetapi,
tampaknya baginda itu tidak lama memerintah karena pada tahun 1059 Masehi
muncul seorang raja lain, yaitu Raja Samarotsaha. Raja itu berkuasa di Kerajaan
Jenggala. Raja Samarotsaha adalah menantu Raja Airlangga.
Setelah pemerintahan Samarotsaha, kedua kerajaan tadi tidak ada kabar
beritanya untuk waktu yang cukup lama (58 tahun). Mungkin selama itu terus-
menerus terjadi perebutan kekuasaan. Baru sekitar tahun 1116, Kerajaan Kediri
muncul kembali di pentas sejarah kerajaan-kerajaan Jawa Timur.
1) Bidang Politik
Setelah 58 tahun mengalami masa suram, Kerajaan Panjalu (Kediri) bangkit
lagi sekitar tahun 1116. Raja yang memerintah, antara lain sebagai berikut.

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 25

a) Rakai Sirikan Sri Bameswara
Raja Bameswara pertama adalah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara
Sakalabhuwana Sarwwaniwaryya Wiryya Parakrama Digjayattunggadewa. Hal
itu disebutkan pada Prasasti Pandlegan I yang berangka tahun 1038 Saka (1116
Masehi).
Raja Sirikan masih mengeluarkan prasasti lain, yaitu
1) Prasasti Panumbangan berangka tahun 1042 Saka (1120 M)
2) Prasasti Geneng berangka tahun 1050 Saka (1128 M)
3) Prasasti Candi Tuban berangka tahun 1052 Saka (1130 M)
4) Prasasti Tangkilan berangka tahun 1052 Saka (1130 M).
Prasasti lainnya adalah Prasasti Karang Reja berangka tahun 1056 Saka
(1136 Masehi), tetapi tidak jelas siapa yang mengeluarkannya. Apakah
dikeluarkan oleh Bameswara atau Jayabaya?
Lencana kerajaan yang digunakan adalah tengkorak bertaring di atas bulan
sabit yang disebut Candrakapala. Bameswara diperkirakan memerintah hingga
tahun 1134 M.
b) Raja Jayabaya
Pengganti Raja Bameswara adalah Jayabaya yang bergelar Sri Maharaja
Sri Warmmeswara Madhusudana Wataranindita Parakrama Digjayottungga-
dewanama Jayabhayalancana. Ia memerintah pada tahun 1057 Saka (1135 M).
Salah satu prasastinya yang menarik adalah Prasasti Talan berangka tahun
1508 Saka (1136 M) yang berisi pemindahan Prasasti Ripta (tahun 961 Saka)
menjadi Prasasti Dinggopala oleh Raja Jayabaya. Dalam prasasti itu, ia disebutkan
sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.
Lencana kerajaan yang dipakai adalah Narasingha, tetapi pada Prasasti Talan
disebutkan pemakaian lencana Garuda Mukha. Pada Prasasti Hantang (1057
Saka) atau 1135 M dituliskan kata  pangjalu jayati, artinya panjalu menang
berperang atas Jenggala dan sekaligus untuk menunjukkan bahwa Jayabaya
adalah pewaris takhta kerajaan yang sah dari Airlangga.
c) Raja Sarweswara
Pengganti Raja Jayabaya ialah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara
Janardhanawatara Wijayagrajasama Singhanadaniwaryyawiryya Parakrama
Digjayattunggadewanama. Sarweswara memerintah tahun 1159 hingga 1169.
Lencana kerajaan yang digunakan adalah Ganesha.
d) Sri Aryyeswara
Raja Sarweswara kemudian digantikan oleh Sri Maharaja Rakai Hino Sri
Aryyeswara Madhusudanawatararijamukha . Masa pemerintahan Raja Sri
Aryyeswara hanya sampai tahun 1181 dan digantikan oleh  Sri Maharaja Sri
Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayattungga-
duwanama Sri Gandra.

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 26

e) Sri Gandra
Pada masa pemerintahan Sri Gandra dikenal jabatan  senapati sarwajala
(laksamana laut). Dengan jabatan itu, diduga Kediri mempunyai armada laut yang
kuat. Di samping itu, juga dikenal pejabat yang menggunakan nama-nama
binatang, misalnya Kebo Salawah, Lembu Agra, Gajah Kuning, dan Macan Putih.
f) Kameswara
Kameswara memerintah Kerajaan Kediri tahun 1182–1185. Kameswara
bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara Tri Wikramawatara Aniwaryyawiryya Parakra-
ma Digjayattunggadewanama. Pada masa pemerintahan Kameswara, seni sas-
tra berkembang pesat.
g) Kertajaya
Setelah Kameswara mangkat, raja yang memerintah Kediri adalah Kerta-
jaya atau Srengga. Gelar Kertajaya ialah Sri Maharaja Sarweswara Triwikramata-
ranindita Srenggalancana Digjayattunggadewanama. Kertajaya adalah raja tera-
khir yang memerintah Kediri. Kertajaya memerintah Kediri tahun 1185–1222.
Pada masa pemerintahannya, Kertajaya sering berselisih pendapat dengan
para brahmana. Para brahmana kemudian minta perlindungan kepada  Ken
Arok. Kesempatan emas itu digunakan Ken Arok untuk memberontak raja.
Oleh karena itu, terjadilah pertempuran hebat di Ganter. Dalam pertempuran
itu, Ken Arok berhasil mengalahkan Raja Kertajaya. Dengan berakhirnya masa
pemerintahan Kertajaya, berakhir pula masa pemerintahan Kerajaan Kediri
sebagai kelanjutan Dinasti Isana yang didirikan oleh Empu Sindok.
Keadaan politik pemerintahan dan keadaan masyarakat di Kediri ini dicatat
dalam berita dari Cina, yaitu dalam kitab Ling-Wai-tai-ta yang ditulis oleh Chou
K’u-fei pada tahun 1178 dan pada kitab Chu-fan-chi yang disusun oleh Chauju-
kua pada tahun 1225. Kitab itu melukiskan keadaan pemerintahan dan
masyarakat zaman Kediri. Kitab itu menggambarkan masa pemerintahan Kediri
termasuk stabil dan pergantian takhta berjalan lancar tanpa menimbulkan perang
saudara. Di dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh tiga orang
putranya dan empat pejabat kerajaan ( rakryan), ditambah 300 pejabat sipil
(administrasi) dan 1.000 pegawai rendahan. Prajuritnya berjumlah 30.000
orang dengan mendapat gaji dari kerajaan. Raja berpakaian sutra, memakai
sepatu kulit, perhiasan emas, dan rambutnya disanggul ke atas. Jika bepergian,
raja naik gajah atau kereta dengan dikawal oleh 500–700 prajurit. Pemerintah
sangat memperhatikan keadaan pertanian, peternakan, dan perdagangan.
Pencuri dan perampok jika tertangkap dihukum mati.
2) Bidang Sosial Budaya
Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain
sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam
perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas.
Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 27

Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada
kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu.
Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta
bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah lakunya.
Raja juga sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya.
Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra
yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan
kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa
Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu  dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam
kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai sanjungan kepada
rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk  candrasangkala, sangakuda
suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M). Selain itu, Empu Panuluh juga
menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa.
Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain
sebagai berikut.
a) Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang
baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
b) Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja.
Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan  Dewa Kama.
Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah
Dahana.
c) Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka
sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena
pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.
Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada
zaman Kediri, antara lain sebagai berikut.
a) Kitab Kresnayana karangan  Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna
sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan
sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
b) Kitab Samanasantaka  karangan  Empu Managuna  yang mengisahkan
Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.
Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi.
Misalnya, cerita Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief
Parthayajna dan Kunjarakarna.
3) Aspek Kehidupan Ekonomi
Kediri merupakan kerajaan agraris dan maritim. Masyarakat yang hidup di
daerah pedalaman bermata pencaharian sebagai petani. Hasil pertanian di daerah
pedalaman Kerajaan Kediri sangat melimpah karena didukung oleh kondisi tanah
yang subur. Hasil pertanian yang melimpah memberikan kemakmuran bagi
rakyat.

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 28

Masyarakat yang berada di daerah pesisir hidup dari perdagangan dan
pelayaran. Pada masa itu perdagangan dan pelayaran berkembang pesat. Para
pedagang Kediri sudah melakukan hubungan dagang dengan Maluku dan
Sriwijaya.
Pada masa itu, mata uang yang terbuat dari emas dan campuran antara
perak, timah, dan tembaga sudah digunakan. Hubungan antara daerah
pedalaman dan daerah pesisir sudah berjalan cukup lancar. Sungai Brantas
banyak digunakan untuk lalu lintas perdagangan antara daerah pedalaman dan
daerah pesisir.

7. Kerajaan Singasari

Asal usul Ken Arok tidak jelas. Menurut kitab Pararaton, Ken Arok adalah
anak seorang wanita tani dari Desa Pangkur (sebelah timur Gunung Kawi). Para
ahli sejarah menduga ayah Ken Arok seorang pejabat kerajaan, mengingat
wawasan berpikir, ambisi, dan strateginya cukup tinggi. Hal itu jarang dimiliki
oleh seorang petani biasa. Banyak kisah yang menyebutkan bahwa Ken Arok
ketika muda menjadi pencuri dan perampok. Berkat pengarahan dan bantuan
Pendeta Lohgawe , Ken Arok bersedia mengabdikan diri kepada  Akuwu
Tumapel, Tunggul Ametung. Ken Arok setelah mengabdi di Tumapel ingin
menduduki jabatan akuwu dan sekaligus memperistri Ken Dedes (istri Tunggul
Ametung). Dengan menggunakan tipu muslihat yang jitu, Ken Arok dapat
membunuh Tunggul Ametung. Setelah itu, Ken Arok mengangkat dirinya
menjadi akuwu di Tumapel dan memperistri Ken Dedes yang saat itu telah
mengandung. Ken Arok kemudian mengumumkan bahwa dia adalah
penjelmaan Dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa. Hal itu dimaksudkan agar Ken
Arok dapat diterima secara sah oleh rakyat sebagai seorang pemimpin.
a. Bidang Politik
Tumapel pada waktu itu menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Kediri yang
diperintah oleh  Raja Kertajaya  atau  Dandang Gendis . Ken Arok ingin
memberontak, tetapi menunggu saat yang tepat. Pada tahun 1222 datanglah
beberapa pendeta dari Kediri untuk meminta perlindungan kepada Ken Arok
karena tindakan yang sewenang-wenang dari Raja Kertajaya. Ken Arok menerima
dengan senang hati dan mulailah menyusun barisan, menggembleng para
prajurit, dan melakukan propaganda kepada rakyatnya untuk memberontak
Kerajaan Kediri.
Setelah segala sesuatunya siap, berangkatlah sejumlah besar prajurit Tumapel
menuju Kediri. Di daerah Ganter terjadilah peperangan dahsyat. Semua prajurit
Kediri beserta rajanya dapat dibinasakan. Ken Arok disambut dengan gegap
gempita oleh rakyat Tumapel dan Kediri. Selanjutnya, Ken Arok dinobatkan
menjadi raja. Seluruh wilayah bekas Kerajaan Kediri disatukan dengan Tumapel
yang kemudian disebut Kerajaan Singasari. Pusat kerajaan dipindahkan ke bagian
timur, di sebelah Gunung Arjuna.

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 29

Setelah naik takhta, Ken Arok bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhattara Sang
Amurwabhumi. Dialah pendiri Dinasti Rajasa atau Girindrawangsa. Ken Arok
hanya memerintah selama lima tahun, yaitu tahun 1222–1227. Pada tahun
1227, Ken Arok dibunuh oleh seorang  pengalasan atas perintah Anusapati,
anak Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Ken Arok  didharmakan di
Kagenengan.
Sepeninggal Ken Arok, Anusapati menjadi Raja Singasari. Anusapati
memerintah pada tahun 1227–1248. Pada masa pemerintahannya tidak banyak
hal yang dapat diketahui.
Ken Arok dengan selirnya yang bernama Ken Umang mempunyai empat
orang putra, yaitu  Panji Tohjaya, Panji Sudhartu, Panji Wregola,  dan Dewi
Rambi. Akhirnya,  Tohjaya mengetahui bahwa yang membunuh Ken Arok
adalah Anusapati. Oleh karena itu, Tohjaya ingin membalas dendam kematian
ayahnya. Pada tahun 1248, Anusapati berhasil dibunuh. Anusapati setelah wafat
didharmakan di Candi Kidal.
Pada tahun 1248 itu juga Panji Tohjaya naik takhta. Baru beberapa bulan
memerintah, Tohjaya dibunuh oleh Ranggawuni, putra Anusapati, di  Katang
Lumbang. Setelah itu, Ranggawuni menjadi raja dengan gelar  Sri Jaya
Wisnuwardhana. Dalam masa pemerintahannya, Wisnuwardhana didampingi
oleh Mahesa Campaka, anak Mahesa Wongateleng. Mahesa Wongateleng adalah
anak Ken Dedes dengan Ken Arok.
Wisnuwardhana memerintah tahun 1248–1268. Selama masa
pemerintahannya keadaan negara aman dan tenteram. Pada tahun 1264
Wisnuwardhana mengeluarkan sebuah prasasti dan mendirikan benteng di
Canggu Lor. Raja Wisnuwardhana meninggal pada tahun 1268 dan di-dharma-
kan di  Weleri sebagai Syiwa dan di  Jayaghu (Candi Jago) sebagai  Buddha
Amoghapasa.
Tidak lama kemudian, Mahesa Campaka juga mangkat. Mahesa Campaka
mempunyai seorang anak, yaitu  Lembu Tal. Lembu Tal mempunyai anak
bernama Wijaya yang nantinya mendirikan Kerajaan Majapahit.
Kertanegara terkenal dengan gagasannya yang tinggi, yaitu ingin
memperluas daerah kekuasaannya hingga meliputi seluruh pulau-pulau di
wilayah Nusantara. Seluruh Nusantara akan disatukan di bawah panji-panji
kebesaran Singasari.
Untuk mewujudkan cita-citanya, Kertanegara melakukan usaha sebagai
berikut.
1) Penataan di Dalam Negeri
Penataan di dalam negeri yang dilakukan Kertanegara untuk mewujudkan
cita-citanya, antara lain sebagai berikut.
a) Untuk memperlancar pemerintahannya, Kertanegara dibantu oleh tiga orang
mahamenteri dengan pangkat i hino, i sirikan, dan i halu. Tugas mereka

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 30

adalah mengatur dan meneruskan perintah raja melalui tiga menteri
pelaksana dengan pangkat rakryan apatih, rakryan demung, dan rakryan
kanuruhan.
b) Mahapatih Raganatha digantikan oleh Aragani karena dipandang kurang
mendukung gagasan raja. Agar tidak kecewa, Raganatha diangkat menjadi
adhyaka (wakil raja) di Tumapel.
c) Banyak Wide yang dianggap masih mempunyai hubungan erat dengan
Kediri diasingkan dan diangkat menjadi Bupati Sumenep (Madura) dengan
gelar Arya Wiraraja.
d) Angkatan perang, baik prajurit darat maupun armada laut diperkuat
persenjataannya.
e) Pemberontakan yang terjadi di dalam negeri ditumpas, misalnya
pemberontakan Bhayaraja (1270) dan pemberontakan Mahesa Rangkah
(1280).
f) Lawan politiknya diajak bekerja sama, misalnya Jayakatwang, keturunan
Raja Kediri, diangkat menjadi raja kecil di Kediri. Bahkan, putranya
Ardharaja dijadikan menantu.
g) Raden Wijaya, keturunan Mahesa Campaka juga dijadikan menantu.
h) Untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari para pemuka agama,
diangkatlah seorang pemimpin agama Buddha dan seorang pendeta
mahabrahma untuk mendampingi raja.
2) Ekspansi ke Luar Negeri
Untuk mendukung terwujudnya cita-cita, Kertanegara melakukan tindakan
ekspansi ke luar negeri sebagai berikut.
a) Setelah armada lautnya kuat, Kertanegara mulai melebarkan kekuasaan ke
luar Jawa. Pada tahun 1275, Kertanegara mengirimkan ekspedisi ke Melayu
(Pamalayu) untuk menghidupkan lagi Kerajaan Melayu (di Jambi) agar dapat
menyaingi dan melemahkan Kerajaan Sriwijaya.  Hal itu sebenarnya
dimaksudkan untuk mencegah atau menahan gerakan ekspansi prajurit
Mongol di bawah pimpinan Kaisar Kubhilai Khan.
b) Pada tahun 1284 Kertanegara mengirimkan ekspedisi ke Bali dan berhasil
menanamkan pengaruh dan kekuasaannya di sana.
c) Pada tahun 1286 Kertanegara mengirimkan sebuah Patung Amoghapasa
beserta 14 pengiringnya kepada Raja Melayu, yaitu Mauliwarmadewa. Hal
itu dimaksudkan untuk mempererat dan memperkuat pertahanan Singasari–
Melayu.
d) Pada tahun 1289 Jawa Barat berhasil ditundukkan, menyusul Pahang di
Malaya dan Tanjungpura di Kalimantan yang berhasil dikuasai. Daerah itu
sangat strategis untuk menghadang ekspansi tentara Mongol.
e) Menjalin persahabatan dengan raja-raja di Semenanjung Malaka dan Indocina
dengan cara menikahkan putri Kertanegara dengan raja di Indocina. Dengan
cara itu, kukuhlah persahabatan Singasari–Indocina.

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 31

b. Bidang Sosial Budaya
Peninggalan kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain berupa prasasti,
candi, dan patung. Candi peninggalan Kerajaan Singasari, antara lain Candi
Jago, Candi Kidal, dan Candi Singasari. Adapun patung-patung yang berhasil
ditemukan sebagai hasil kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain Patung Ken
Dedes sebagai Dewi Prajnaparamita lambang dewi kesuburan dan Patung
Kertanegara sebagai Amoghapasa.
Rakyat Singasari mengalami pasang surut kehidupan sejak zaman Ken Arok
sampai masa pemerintahan Wisnuwardhana. Pada masa-masa pemerintahan
Ken Arok, kehidupan sosial masyarakat sangat terjamin. Kemakmuran dan
keteraturan kehidupan sosial masyarakat Singasari kemungkinan yang
menyebabkan para brahmana meminta perlindungan kepada Ken Arok atas
kekejaman rajanya.
Akan tetapi, pada masa pemerintahan Anusapati kehidupan masyarakat
mulai terabaikan. Hal itu disebabkan raja sangat gemar menyabung ayam hingga
melupakan pembangunan kerajaan.
Keadaan rakyat Singasari mulai berangsur-angsur membaik setelah
Wisnuwardhana naik takhta Singasari. Kemakmuran makin dapat dirasakan
rakyat Singasari setelah Kertanegara menjadi raja. Pada masa pemerintahan
Kertanegara, kerajaan dibangun dengan baik. Dengan demikian, rakyat dapat
hidup aman dan sejahtera.
Dengan kerja keras dan usaha yang tidak henti-henti, cita-cita Kertanegara
ingin menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah naungan Singasari
tercapai juga walaupun belum sempurna. Daerah kekuasaannya, meliputi Jawa,
Madura, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, Semenanjung Malaka, Kalimantan,
Sulawesi, dan Maluku.
Sebagai ahli agama, Kertanegara tetap mengkhawatirkan daya sakti pemecah
Empu Bharada pada zaman Airlangga. Untuk menangkis daya sakti pemecah
itu, Kertanegara mendirikan patung perwujudan dirinya sebagai Dhyani Buddha
di tempat tinggal Empu Bharada (di Wurare). Patung itu sampai sekarang masih
dapat dilihat di Surabaya dan lazim disebut sebagai Patung Joko Dolok.
Bersamaan dengan usaha Kertanegara untuk memperluas daerah kekuasaan,
Kekaisaran Mongol yang dipimpin oleh Kubhilai Khan juga sedang melakukan
ekspansi ke arah selatan, yaitu ke kawasan Asia Tenggara.
Kubhilai Khan mengirimkan beberapa kali utusan ke Singasari untuk
meminta Raja Kertanegara mengakui kekuasaannya. Hal itu terjadi pada tahun
1280, 1281, 1286, dan terakhir pada tahun 1289 yang dipimpin oleh Meng
Ch’i. Kertanegara merasa kesal sehingga utusan itu dianiaya hingga cacat dan
disuruh pulang. Utusan itu begitu tiba di negerinya menceritakan segala
perlakuan Raja Kertanegara kepada Kubhilai Khan. Akibatnya, Kubhilai Khan
marah sekali. Kubhilai Khan menyiapkan pasukannya untuk menghukum
Kertanegara. Akan tetapi, ketika pasukan itu tiba di Jawa pada tahun 1293
Raja Kertanegara telah mangkat.

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 32

Sebenarnya, Jayakatwang sebagai raja kecil di Kediri selalu tunduk dan taat
kepada Raja Kertanegara. Akan tetapi, Jayakatwang telah dihasut oleh patihnya
untuk membalas kematian buyutnya (Kertajaya) yang dibunuh oleh buyut
Kertanegara (Ken Arok). Di samping itu, Jayakatwang juga dibujuk oleh Arya
Wiraraja dari Madura untuk memberontak terhadap Singasari agar dapat
membangun kembali Kerajaan Kediri seperti dahulu. Hasutan dan bujukan itu
akhirnya termakan juga oleh Jayakatwang. Oleh karena itu, Jayakatwang segera
mempersiapkan sejumlah besar prajurit dan persenjataannya.
Saat yang tepat untuk menaklukkan Singasari tiba. Pada saat itu sebagian
besar prajurit Singasari dikirim ke luar Jawa sehingga pertahanan di istana lemah.
Selain itu, Kertanegara juga  sedang berkonflik dengan Khubilai Khan. Oleh
karena itu, tepatlah saatnya untuk menyerbu Singasari. Kerajaan Singasari diserbu
dari dua jurusan (utara dan selatan) sehingga tidak mampu menanggulanginya.
Akhirnya, seluruh prajurit dan Raja Kertanegara gugur dalam pertempuran itu.
Kertanegara setelah gugur didharmakan sebagai Syiwa Buddha di Candi
Jawi. Di  Sagala, Kertanegara bersama permaisurinya diwujudkan sebagai
Wairocana Locana dan di Candi Singasari dilukiskan sebagai Bairawa (Batara
Kala).
c. Bidang Ekonomi
Tidak banyak sumber prasasti dan berita dari negeri asing yang dapat
memberi keterangan secara jelas kehidupan perekonomian rakyat Singasari.
Akan tetapi, berdasarkan analisis bahwa pusat Kerajaan Singasari berada di
sekitar Lembah Sungai Brantas dapat diduga bahwa rakyat Singasari banyak
menggantungkan kehidupan pada sektor pertanian. Keadaan itu juga didukung
oleh hasil bumi yang melimpah sehingga menyebabkan Raja Kertanegara
memperluas wilayah terutama tempat-tempat yang strategis untuk lalu lintas
perdagangan.
Keberadaan Sungai Brantas dapat juga digunakan sebagai sarana lalu lintas
perdagangan dari wilayah pedalaman dengan dunia luar. Dengan demikian,
perdagangan juga menjadi andalan bagi pengembangan perekonomian Kerajaan
Singasari.

7. Kerajaan Bali

Kerajaan Bali terletak di Pulau Bali yang berada di sebelah timur Provinsi
Jawa Timur sekarang ini. Kerajaan Bali mempunyai hubungan sejarah yang
tinggi dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.
a. Bidang Politik
Berdasarkan Prasasti Blanjong yang berangka tahun 914, Raja Bali pertama
adalah  Khesari Warmadewa . Istananya berada di  Singhadwalawa . Raja
berikutnya adalah Sang Ratu Sri Ugrasena. Ia memerintah tahun 915–942,
istananya berada di Singhamandawa. Kemungkinan Singhamandawa terletak

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 33

antara Kintamani (Danau Batur) dan Pantai Sanur (Blanjong), kira-kira di sekitar
Tampaksiring dan Pejeng atau di antara aliran  Sungai Patanu dan Pakerisan.
Masa pemerintahannya sezaman dengan Empu Sindok di Jawa Timur. Sang
Ratu Sri Ugrasena meninggalkan sembilan prasasti. Pada umumnya, prasasti
itu berisi tentang pembebasan pajak pada daerah-daerah tertentu. Selain itu,
ada juga prasasti yang memberitakan tentang pembangunan tempat-tempat
suci. Setelah wafat, Sang Ratu Sri Ugrasena di dharmakan di Air Mandatu.
Pengganti Sang Ratu Sri Ugrasena adalah raja-raja yang memakai gelar
Warmadewa. Raja yang pertama adalah Sang Ratu Aji Tabanendra Warmadewa.
Ia memerintah bersama permaisurinya,  Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika
Dharmadewi. Raja ini yang memerintah tahun 955–967 M.
Pengganti berikutnya adalah Jayasingha Warmadewa. Ada yang menduga
bahwa Jayasingha Warmadewa bukan keturunan Tabanendra karena pada tahun
960 M (bersamaan dengan pemerintahaan Tabanendra) Jayasingha Warmadewa
sudah menjadi raja. Akan tetapi, mungkin juga ia adalah putra mahkota yang
telah diangkat menjadi raja sebelum ayahnya turun takhta. Raja Jayasingha telah
membuat telaga (pemandian) dari sumber suci di Desa Manukraya. Pemandian
itu disebut Tirta Empul yang terletak di dekat Tampaksiring. Raja Jayasingha
Warmadewa memerintah sampai tahun 975 Masehi.
Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa. Ia memerintah
tahun 975–983. Tidak ada keterangan lain yang dapat diperoleh dari raja ini
kecuali tentang anugerah raja kepada Desa Julah. Pada tahun 983 M muncul
seorang raja wanita, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Menurut Stein
Callenfels, ratu itu berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Namun,  Damais menduga
bahwa ratu itu adalah putri Empu Sindok (Jawa Timur). Hal ini didasarkan atas
nama-nama jabatan dalam Prasasti Ratu Wijaya sendiri yang sudah lazim disebut
dalam prasasti di Jawa, tetapi tidak dikenal di Bali, seperti makudur, madihati,
dan pangkaja.
Pengganti Ratu Sri Wijaya Mahadewi adalah raja dari keluarga Warmadewa,
bernama Dharma Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya,
yaitu Gunapriya dharmapatni atau lebih dikenal sebagai Mahendradatta, anak
dari Raja Makutawangsawardhana  dari Jawa Timur. Sebelum naik takhta
diperkirakan Udayana berada di Jawa Timur sebab namanya tercantum dalam
Prasasti Jalatunda.
Setelah pernikahan itu, pengaruh kebudayaan Jawa di Bali makin
berkembang. Misalnya, bahasa Jawa Kuno mulai digunakan untuk penulisan
prasasti dan pembentuk dewan penasihat seperti di pemerintahan kerajaan-
kerajaan Jawa mulai dilakukan.
Udayana memerintah bersama permaisurinya hingga tahun 1001 M karena
pada tahun itu Gunapriya mangkat dan di dharmakan di  Burwan. Udayana
meneruskan pemerintahannya hingga tahun 1011 M. Setelah mangkat, ia
dicandikan di Banuwka. Hal ini didasarkan pada  Prasasti Air Hwang (1011)
yang hanya menyebut nama Udayana sendiri. Menurut Prasasti Ujung (Hyang),
Udayana setelah mangkat dikenal sebagai Batara Lumah di Banuwka.

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 34

Raja Udayana mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan
Anak Wungsu. Airlangga tidak pernah memerintah di Bali karena menjadi
menantu Dharmawangsa di Jawa Timur. Oleh karena itu, pengganti Raja
Udayana dan Gunapriya ialah Marakata. Setelah naik takhta, Marakata bergelar
Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana Uttunggadewa. Marakata
memerintah dari tahun 1011 hingga 1022. Masa pemerintahan Marakata
sezaman dengan Airlangga.
Karena persamaan unsur nama dan masa pemerintahannya, Stutterheim
berpendapat bahwa Marakata sebenarnya adalah Airlangga. Apalagi jika dilihat
dari kepribadian dan cara memimpin yang memiliki kesamaan. Marakata
dipandang sebagai sumber kebenaran hukum yang selalu melindungi dan
memperhatikan rakyat. Oleh karena itu, Marakata disegani dan ditaati oleh
rakyatnya. Selain itu, Marakata juga turut membangun sebuah  presada atau
candi di Gunung Kawi di daerah Tampaksiring, Bali.
Setelah pemerintahannya berakhir, Marakata digantikan oleh Raja Anak
Wungsu. Ia bergelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah i
Burwan Bhatara Lumah i Banu Wka . Anak Wungsu adalah Raja Bali Kuno
yang paling banyak meninggalkan prasasti (lebih dari 28 prasasti) yang tersebar
di Bali Utara, Bali Tengah, dan Bali Selatan. Anak Wungsu memerintah selama
28 tahun dari tahun 1049–1077. Anak Wungsu dianggap sebagai penjelmaan
Dewa Wisnu. Anak Wungsu tidak memiliki keturunan. Baginda mangkat pada
tahun 1077 dan dimakamkan di Gunung Kawi (dekat Tampaksiring).
Setelah berakhirnya Dinasti Warmadewa, Bali diperintah oleh beberapa
orang raja secara silih berganti. Raja yang pernah memerintah Bali, antara lain
sebagai berikut.
1) Jayasakti
Jayasakti memerintah dari tahun 1133–1150 M dan sezaman dengan
pemerintahan Jayabaya di Kediri. Dalam menjalankan pemerintahannya,
Jayasakti dibantu oleh penasihat pusat yang terdiri atas para senapati dan
pimpinan keagamaan baik dari Hindu maupun Buddha. Kitab undang-undang
yang digunakan adalah kitab Utara Widdhi Balawan dan kitab Rajawacana.
2) Ragajaya
Ragajaya mulai memerintah tahun 1155 M. Kapan berakhir masa
pemerintahannya belum dapat diketahui karena tidak ada sumber tertulis yang
menjelaskannya.
3) Jayapangus
Raja Jayapangus dianggap penyelamat rakyat yang terkena malapetaka
akibat lalai menjalankan ibadah. Jayapangus menerima wahyu dari dewa untuk
mengajak rakyat kembali melakukan upacara agama yang sampai sekarang
dikenal dan diperingati sebagai upacara Galungan. Kitab undang-undang yang
digunakan adalah kitab Mana Wakamandaka.  Raja Jayapangus memerintah
pada tahun 1172–1176.

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 35

4) Ekajalancana
Ekajalancana memerintah sekitar tahun 1200–1204 Masehi. Dalam
memerintah, Ekajalacana dibantu oleh ibunya yang bernama  Sri Maharaja
Aryadegjaya.
5) Sri Astasura Ratna Bumi Banten
Sri Astasura Ratna  Bumi Banten adalah Raja Bali yang terakhir. Bali
ditaklukkan oleh Gajah Mada dan menjadi wilayah taklukan Kerajaan Majapahit.
b. Bidang Sosial Budaya
Struktur masyarakat yang berkembang pada masa Kerajaan Bali Kuno
didasarkan pada hal sebagai berikut.
1) Sistem Kasta (Caturwarna)
Sesuai dengan kebudayaan Hindu di India, pada awal perkembangan Hindu
di Bali sistem kemasyarakatannya juga dibedakan dalam beberapa kasta. Namun,
untuk masyarakat yang berada di luar kasta disebut budak atau njaba.
2) Sistem Hak Waris
Pewarisan harta benda dalam suatu keluarga dibedakan atas anak laki-laki
dan anak perempuan. Anak laki-laki memiliki hak waris lebih besar dibandingkan
anak perempuan.
3) Sistem Kesenian
Kesenian yang berkembang pada masyarakat Bali Kuno dibedakan atas
sistem kesenian keraton dan sistem kesenian rakyat.
4) Agama dan Kepercayaan
Masyarakat Bali Kuno meskipun sangat terbuka dalam menerima pengaruh
dari luar, mereka tetap mempertahankan tradisi kepercayaan nenek moyangnya.
Dengan demikian, di Bali dikenal ada penganut agama Hindu, Buddha, dan
kepercayaan animisme.
Masyarakat Bali Kuno juga hidup dalam keteraturan dan taat menjalankan
hukum. Hal itu juga disebabkan oleh keteladanan para pemimpin negara yang
taat hukum. Bahkan, pada masa pemerintahan Raja Sri Jayaksati yang sezaman
dengan masa pemerintahan raja Jayabaya dari Kediri, raja sangat patuh pada
hukum yang berlaku, Raja melaksanakan pemerintahan berdasarkan  kitab
Undang-Undang Uttara Widdhi Balawan dan Rajawacana.
Ada hal yang menarik dalam sistem keluarga Bali yang berkaitan dengan
pemberian nama anak, misalnya  Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut. Untuk
anak pertama golongan brahmana dan ksatria disebut  Putu. Diperkirakan
pemberian nama seperti itu dimulai pada zaman Raja Anak Wungsu dan ada
kaitannya dengan upaya pengendalian jumlah penduduk.

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 36

Kehidupan sosial dalam masyarakat Bali, yaitu masyarakat terbagi dalam
kasta-kasta yang disebut  caturwarna. Ketika Kerajaan Majapahit berhasil
menguasai Bali, terbentuklah golongan masyarakat baru yang disebut  Wong
Majapahit. Wong Majapahit adalah orang-orang keturunan penguasa dan
penduduk Kerajaan Majapahit.
Masuknya pengaruh kebudayaan Hindu sangat besar sekali pada masyarakat
Bali. Bahkan, sampai sekarang dapat dikatakan bahwa mayoritas penduduk
Bali adalah penganut agama Hindu. Agama Buddha juga berkembang di Bali
meskipun tidak sepesat perkembangan agama Hindu. Bahkan, pada masa
pemerintahan Raja Udayana, agama Buddha juga mendapat tempat sejajar
dalam kehidupan kerajaan. Hal itu tentu saja menunjukkan betapa toleransinya
rakyat Bali pada agama yang lain.
Seperti telah disebutkan di depan bahwa kesenian Bali juga mengalami
perkembangan pesat, meskipun dibedakan atas kesenian rakyat dan kesenian
keraton. Hal ini bukan berarti rakyat tidak bisa menikmati bentuk kesenian
keraton. Prasasti Julah (987 Saka/1065 Masehi) memberi keterangan adanya
kesenian untuk raja (ihaji) dan kesenian yang melakukan pertunjukkan berkeliling
(ambaran).
Seni sastra tradisional juga berkembang dan digemari rakyat Bali. Karya
sastra Bali pada awalnya merupakan teks sastra kuno yang dikarang di Jawa
berdasarkan cerita Ramayana dan Mahabarata. Syair dan tulisan prosa tentang
berbagai hal yang berhubungan dengan agama dan sejarah lokal yang dibuat di
Jawa pada abad ke-10 sampai dengan ke-16 dialihkan ke Bali. Mulai abad ke-
16, orang Bali mulai menciptakan sastra mereka sendiri berdasarkan cerita klasik
Jawa Kuno. Penggunaan bahasa Bali sebagai bahasa sastra baru digunakan
pada akhir abad ke-18 untuk cerita rakyat, terjemahan karya klasik, dan syair
yang dibuat di Bali.
Kehidupan kebudayaan lain yang juga sampai pada kita sekarang adalah
peninggalan berupa candi, prasasti, dan pura.
Contoh prasasti peninggalan Kerajaan Bali, antara lain Prasasti Blanjong
(tahun 914 M) dan  Prasasti Air Hwang  (1011). Peninggalan kebudayaan
Kerajaan Bali yang lain adalah kelompok  Candi Padas di Gunung Kawi dan
Pura Agung Besakih.
c. Bidang Ekonomi
Kegiatan ekonomi masyarakat Bali dititikberatkan pada sektor pertanian.
Hal itu didasarkan pada beberapa prasasti Bali yang memuat hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan bercocok tanam. Beberapa istilah itu, antara lain
sawah, parlak (sawah kering), kebwan (kebun), gaga (ladang), dan kasuwakan
(irigasi).
Di luar kegiatan pertanian pada masyarakat Bali juga ditemukan kehidupan
sebagai berikut.

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 37

1) Pande (Pandai = Perajin)
Mereka mempunyai kepandaian membuat kerajaan perhiasan dari bahan
emas dan perak, membuat peralatan rumah tangga, alat-alat pertanian, dan
senjata.
2) Undagi
Mereka mempunyai kepandaian memahat, melukis, dan membuat
bangunan.
3) Pedagang
Pedagang pada masa Bali Kuno dibedakan atas pedagang laki-laki
(wanigrama) dan pedagang perempuan (wanigrami). Mereka sudah melakukan
perdagangan antarpulau (Prasasti Banwa Bharu).

8. Kerajaan Sunda/Pajajaran

Berdasarkan naskah kuno yang ditemukan, di daerah Jawa Barat telah
berulang kali terjadi perpindahan pusat kerajaan Hindu sesudah Tarumanegara.
Secara berurutan pusat-pusat kerajaan itu adalah Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali,
dan Pakwan Pajajaran.
a. Bidang Politik
Akibat sumber-sumber sejarah yang sangat terbatas, aspek kehidupan politik
tentang Kerajaan Sunda/Pajajaran hanya sedikit saja yang diketahui. Aspek
kehidupan politik yang diketahui terbatas pada perpindahan pusat pemerintahan
dan pergantian takhta raja.
1) Kerajaan Galuh
Sejarah di Jawa Barat setelah Tarumanegara tidak banyak diketahui.
Kegelapan itu sedikit tersingkap oleh  Prasasti Canggal yang ditemukan di
Gunung Wukir, Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal dibuat
oleh Sanjaya sebagai tanda kebesaran dan kemenangannya. Prasasti Canggal
menyebutkan bahwa Sanjaya adalah anak  Sanaha, saudara perempuan Raja
Sanna. Dalam kitab Carita Parahyangan juga disebutkan nama Sanjaya. Menurut
versi kitab Carita Parahyangan, Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa
di Kerajaan Galuh.
Sena adalah anak Mandiminyak dari hasil hubungan gelap dengan Pwah
Rababu , istri  Rahyang Sempakwaja  yang merupakan kakak sulung
Mandiminyak, sebagai Raja Galuh. Diduga karena raja tidak mempunyai putra
mahkota, setelah Mandiminyak mangkat, Sena diangkat menjadi raja. Raja Sena
berkuasa selama tujuh tahun. Suatu ketika Raja Sena diserang oleh  Rahyang
Purbasora (saudara seibu) dan mengalami kekalahan. Akibatnya, Raja Sena
diasingkan ke Gunung Merapi beserta keluarganya. Di sinilah anaknya lahir

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 38

dan diberi nama Sanjaya. Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada
saudara tua ayahnya di  Denuh. Akhirnya, Sanjaya berhasil mengalahkan
Purbasora, kemudian naik takhta di Kerajaan Galuh.
Menurut naskah Kropak 406, Sanjaya disebut sebagai  Harisdarma yang
menjadi menantu  Raja Tarusbawa  (Tohaan di Sunda). Sanjaya kemudian
diangkat menjadi raja menggantikan Tarusbawa.
Di Jawa Barat, selain Kerajaan Galuh masih ada pusat kerajaan lain, yaitu
Kerajaan Kuningan yang diperintah oleh Sang Sowokarma.
Agama yang berkembang pada masa Kerajaan Galuh adalah Hindu Syiwa.
Hal itu dinyatakan dengan jelas pada Prasasti Canggal. Raja Galuh juga menganut
Sewabakti ring Batara Upati (upati = utpata = nama lain dari Dewa Yama yang
identik dengan Syiwa).
2) Pusat Kerajaan Prahajyan Sunda
Nama Sunda muncul lagi pada Prasasti Sahyang Tapak yang ditemukan di
Pancalikan dan Bantarmuncang daerah Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka
tahun 952 Saka (1030 M), berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Nama
tokoh yang disebut adalah Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Sakalabhuwanaman-daleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramottunggadewa, sedangkan daerah kekuasaannya disebut Prahajyan Sunda.
Prasasti Sanghyang Tapak, antara lain menyebutkan bahwa pada tahun
1030 Jayabhupati membuat daerah larangan di sebelah timur Sanghyang
Tapak. Daerah larangan itu berupa sebagian sungai yang siapa pun dilarang
mandi dan menangkap ikan di dalamnya. Siapa pun yang melanggar larangan
akan terkena kutukan yang mengerikan, misalnya akan terbelah kepalanya,
terminum darahnya, atau terpotong-potong ususnya.
Berdasarkan gelarnya yang menunjukkan persamaan dengan gelar Airlangga
di Jawa Timur dan masa pemerintahannya pun bersamaan, ada dugaan bahwa
di antara kedua kerajaan tersebut ada hubungan atau pengaruh. Akan tetapi,
Jayabhupati berulang kali menyatakan bahwa dirinya adalah haji ri Sunda (raja
di Sunda). Jadi, Jayabhupati bukan raja bawahan Airlangga. Sementara itu,
perihal kutukan bukanlah sesuatu yang biasa terdapat pada prasasti yang
berbahasa Sunda sehingga kemungkinan Jayabhupati bukan orang Sunda asli.
Agama yang dianut Sri Jayabhupati adalah  Hindu Waisnawa . Ini
ditunjukkan oleh gelarnya (Wisnumurti). Gelar ini ternyata sama pula dengan
agama yang dianut Raja Airlangga. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa
agama resmi yang dianut penduduk Jawa pada awal abad ke-11 adalah Hindu
Waisnawa.
3) Pusat Kerajaan Kawali
Pada zaman pemerintahan siapa pusat Kerajaan Sunda mulai berada di
Kawali tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, menurut prasasti di Astanagede
(Kawali), diketahui bahwa setidak-tidaknya pada masa pemerintahan Rahyang

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 39

Niskala Wastu Kancana pusat kerajaan sudah berada di situ. Istananya bernama
Surawisesa. Raja telah membuat selokan di sekeliling keraton dan mendirikan
perkampungan untuk rakyatnya.
Menurut kitab Pararaton,  pada tahun 1357 Masehi terjadi peristiwa
Pasundan–Bubat atau Perang Bubat, yaitu peperangan antara Sunda dan
Majapahit. Pada masa itu Sunda diperintah oleh  Prabu Sri Baduga Maharaja
(ayah Wastu Kancana) dan Majapahit diperintah oleh Raja Hayam Wuruk. Pada
pertempuran itu Prabu Maharaja gugur. Ketika Perang Bubat terjadi, Wastu
Kancana masih kecil sehingga pemerintahannya untuk sementara diserahkan
kepada pengasuhnya, yaitu  Hyang Bunisora. Ia menjalankan pemerintahan
selama 14 tahun (1357–1371).
Wastu Kancana setelah dewasa menerima kembali tampuk pemerintahan
dari Hyang Bunisora. Wastu Kancana memerintah cukup lama (1371–1471)
karena masyarakat mendukungnya. Wastu Kancana didukung masyarakat karena
selalu menjalankan agama dengan baik dan sangat memperhatikan kesejahteraan
rakyatnya. Setelah mangkat, Raja Wastu Kancana dimakamkan di Nusalarang.
Penggantinya adalah putranya sendiri,  Tohaan di Galuh atau  Rahyang
Ningrat Kancana. Raja Rahyang Ningrat Kancana memerintah hanya tujuh tahun
(1471–1478). Pemerintahan Raja Rahyang Ningrat Kancana berakhir karena
salah tindak, yaitu mencintai wanita terlarang dari luar. Setelah mangkat, raja
itu dimakamkan di Gunung Tiga.
4) Pusat Kerajaan Pakwan Pajajaran
Setelah Raja Rahyang Ningrat Kancana jatuh, takhtanya digantikan oleh
putranya, Sang Ratu Jayadewata. Pada Prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut
sebagai yang kini menjadi Susuhunan di Pakwan Pajajaran . Pada  Prasasti
Batutulis Sang Jayadewata disebut dengan nama Prabu Dewataprana Sri Baduga
Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata . Sejak
pemerintahan Sri Baduga Maharaja, pusat kerajaan beralih dari Kawali ke Pakwan
Pajajaran yang dalam kitab Carita Parahyangan disebut Sri Bima Unta Rayana
Madura Suradipati . Menurut kitab Carita Parahyangan, raja menjalankan
pemerintahan berdasarkan kitab hukum yang berlaku sehingga terciptalah
keadaan aman dan tenteram, tidak terjadi kerusuhan atau perang.
Sang Ratu Jayadewata sudah memperhitungkan terhadap makin meluasnya
pengaruh Islam di wilayah Kerajaan Sunda. Untuk membendung pengaruh
tersebut, baginda menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka. Pada tahun
1512 dan 1521 diutuslah Ratu Samiam dari Sunda ke Malaka. Akan tetapi,
pada tahun 1522 ketika  Henrique leme memimpin perutusannya ke Sunda,
Ratu Samiam sudah berkuasa sebagai raja dan disebut  Prabu Surawisesa.
Rupanya dialah yang menggantikan Sang Ratu Jayadewata. Ratu Samiam
memerintah selama 14 tahun (1521–1535). Setelah itu, Ratu Samiam
digantikan oleh Prabu Ratudewata yang memerintah tahun 1535–1543. Pada
masa itu sering terjadi serangan terhadap Kerajaan Sunda, antara lain dari

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 40

kelompok Islam yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin dan Maulana Yusuf
dari Kerajaan Banten. Keterangan ini tidak bertentangan dengan naskah Purwaka
Caruban Nagari, berkaitan dengan sejarah Cirebon. Diceritakan pula dalam
naskah itu bahwa pada abad ke-15 M, di Cirebon telah ada perguruan Islam,
jauh sebelum Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) berdakwah menyebutkan
agama Islam.
Jatuhnya Sunda Kelapa, pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda ke tangan
pasukan Islam pada tahun 1527 menyebabkan terputusnya hubungan antara
Portugis dan Kerajaan Sunda. Keadaan itu ikut melemahkan pertahanan Sunda
sehingga satu demi satu pantainya jatuh ke tangan musuh. Keadaan makin
buruk karena Prabu Ratudewanata lebih berkonsentrasi sebagai pendeta dan
kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat. Adapun penggantinya, Sang Ratu
Saksi yang memerintah tahun 1443–1551 adalah raja yang kejam dan gemar
“main wanita”. Demikian pula penggantinya,  Tohaan di Majaya  yang
memerintah tahun 1551–1567, suka memperindah istana, berfoya-foya, dan
mabuk-mabukan. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Raja Nuisya Mulya
Kerajaan Sunda sudah tidak mungkin dipertahankan lagi dan akhirnya jatuh ke
tangan orang-orang Islam. Sejak tahun 1579 tamatlah riwayat Kerajaan Sunda
di Jawa Barat.
b. Bidang Sosial
Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian  memberi penjelasan adanya
kelompok-kelompok masyarakat di dalam Kerajaan Sunda. Kelompok itu tidak
berdasarkan jabatan dalam pemerintahan tetapi berdasarkan fungsi yang dimiliki
masing-masing kelompok itu. Kelompok masyarakat itu, antara lain sebagai
berikut.
1) Kelompok Ekonomi
Kelompok ekonomi yang dimaksud adalah orang-orang yang melakukan
kegiatan ekonomi, misalnya, juru lukis (pelukis), pande dang (pembuat perabot
rumah tangga),  pande mas  (perajin emas),  palika  (nelayan),  rare angon
(penggembala), dan penyawah (petani).
2)  Kelompok Alat Negara
Kelompok masyarakat yang bertugas sebagai alat negara, misalnya bhayang-
kara (penjaga keamanan), prajurit (tentara), pam(a)rang (pemerang, tentara) nu
nangganan (jabatan di bawah mangkubumi) dan hulu jurit (kepala prajurit).
3) Kelompok Rohani dan Cendekiawan
Kelompok rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yang
mempunyai kemampuan di bidang tertentu, misalnya  memen (dalang) yang
mengetahui berbagai macam cerita; paraguna yang mempunyai pengetahuan
berbagai macam lagu dan nyanyian; hempal yang mengetahui berbagai macam
permainan; prepatun yang mempunyai berbagai macam cerita pantun; pratanda

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 41

yang mengetahui berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan; brahmana
yang mengetahui berbagai macam mantra; janggan yang mengetahui berbagai
macam pemujaan yang dilakukan di sanggar.
Tidak kalah menariknya pada masa Kerajaan Sunda juga telah diketahui
kelompok masyarakat yang melakukan pekerjaan tidak disukai orang. Pekerjaan
tidak terpuji itu, antara lain nyepet (mencopet), ngarebut (merampok), maling
(pencuri), dan  papanjingan (memasuki rumah orang). Pekerjaan seperti itu
disebut cakap carut, yaitu sesuatu yang pantang diturut.
Kehidupan manusia peladang akan menunjukkan ciri masyarakat peladang,
yaitu sering berpindah-pindah. Bentuk kehidupan sering berpindah menyebab-
kan masyarakatnya tidak membuat bangunan permanen dan kukuh. Oleh karena
itu, wajar kalau dari masyarakat Kerajaan Pajajaran tidak ditemui peninggalan
berupa bangunan, misalnya candi.
Hasil kebudayaan masyarakat Kerajaan Pajajaran yang sampai pada kita
umumnya berupa sastra tulis dan sastra lisan. Bentuk sastra tulis itu, misalnya
kitab Carita Parahyangan, Sawakanda  atau S erat Kanda,  dan Sanghyang
Siksakandang Karesian. Adapun bentuk sastra lisan yang dijumpai umumnya
berupa cerita pantun, seperti  Langgalarang Banyak Catra, Haturwangi, dan
Siliwangi.
c. Bidang Ekonomi
Masyarakat Kerajaan Sunda umumnya hidup dari pertanian, khususnya
ladang. Bukti ini didapat dari kitab Carita Parahyangan, misalnya ada keterangan
pahuma  (peladang),  panggerek  (pemburu), dan  penyadap  (penyadap).
Ketiganya merupakan jenis pekerjaan di ladang.
Selain bertumpu pada sektor pertanian, perekonomian Kerajaan Sunda juga
didukung oleh perdagangan. Hal itu dibuktikan dengan dimilikinya enam buah
bandar yang cukup ramai dan penting. Melalui keenam bandar itu dilakukan
usaha perdagangan dengan daerah dan kerajaan lain.
Masyarakat Sunda di dalam melakukan jual beli telah menggunakan mata
uang. Mereka sudah tidak melakukan pertukaran barang dengan barang. Mata
uang yang digunakan di dalam jual beli, antara lain  ceitis, calais, mates, dan
tumdaya.

9. Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit dapat dikatakan sebagai kelanjutan Kerajaan Singasari.
Alasannya, Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit merupakan salah
seorang pangeran dari Kerajaan Singasari yang berhasil meloloskan diri ketika
Jayakatwang dari Kediri menghancurkan Singasari.  Raden Wijaya melarikan
diri ke Sumenep (Madura) untuk meminta perlindungan kepada Arya Wiraraja.
Setelah berada di Madura, Raden Wijaya mulai menyusun taktik dan strategi
untuk merebut kembali takhta Kerajaan Singasari.

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 42

Atas nasihat Arya Wiraraja, Raden Wijaya menyerah dan berpura-pura
bersedia menghambakan diri kepada Jayakatwang agar dapat mengatur siasat
menggulingkannya. Atas jaminan Arya Wiraraja, Raden Wijaya diterima
mengabdi di Kediri oleh Jayakatwang. Raden Wijaya sangat rajin bekerja dan
taat kepada raja sehingga memperoleh kepercayaan penuh. Setelah memperoleh
kepercayaan raja, Raden Wijaya dianjurkan oleh Arya Wiraraja agar memohon
kepada raja untuk dapat menempati daerah “liar” di utara Pegunungan Arjuna
guna membuka permukiman baru di sana. Permohonan itu pun dikabulkan
oleh Jayakatwang. Daerah “liar” yang disebut hutan Tarik segera dibuka dengan
bantuan para prajurit dari Madura.
Dalam waktu singkat, hutan Tarik cepat berkembang. Penduduk dari daerah
sekitar hutan Tarik mulai berdatangan. Raden Wijaya segera menghimpun
penduduk, terutama kaum muda. Mereka dilatih menjadi prajurit yang gagah
berani dan persenjataannya pun dilengkapi. Makin hari makin mantap
persiapannya. Hutan Tarik kemudian terkenal dengan nama  Majapahit. Di
Madura, Arya Wiraraja pun sudah bersiap-siap dengan prajuritnya untuk
membantu Majapahit menyerang Kediri.
Bertepatan dengan selesainya persiapan untuk melawan Raja Jayakatwang,
tentara Mongol yang dikirim oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Kertanegara
telah tiba di Jawa. Mereka dipimpin oleh Shihpi, Ka-Hsing, dan Iheh-mi-shih.
Tentara Mongol sebagian mendarat di Tuban dan lainnya mendarat di Sedayu
(Sugalu), Gresik. Tentara Mongol setelah mendarat segera berkuda bergerak
cepat menuju Kediri.
Ketika bertemu perutusan tentara Mongol, Raden Wijaya berpura-pura
bersedia mengakui kekuasaan Kubhilai Khan dan membantu menghukum Raja
Jawa di Kediri. Sebagian prajurit Majapahit bergabung dengan tentara Mongol
dan bergerak ke arah Kediri.
Jayakatwang tidak kuasa membendung serbuan tentara gabungan Mongol–
Majapahit yang datang secara mendadak. Akibatnya, hancurlah pertahanan
Kediri. Raja Jayakatwang tertangkap dan dibawa ke benteng pertahanan tentara
Mongol di Ujung Galuh. Di sana Jayakatwang dibunuh oleh tentara Mongol.
Dengan taktik dan strategi yang jitu, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja berbalik
menyerbu tentara Mongol dari berbagai jurusan. Tentara Mongol tidak
menyangka adanya serangan balik sehingga tidak dapat bertahan. Akibatnya,
lebih dari 3.000 tentara Mongol dapat dibinasakan, sedangkan sisanya lari
tunggang-langgang menuju ke kapal untuk pulang ke negerinya.
a. Bidang Politik
Kehidupan politik yang terjadi di Kerajaan Majapahit dapat dilihat pada
masa pemerintahan raja-raja berikut ini.
1) Raden Wijaya (1293–1309)
Raden Wijaya dinobatkan menjadi Raja Majapahit pertama pada tahun
1293 dengan gelar  Kertarajasa Jayawardhana. Para sahabatnya yang ikut

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 43

berjuang tidak disia-siakan. Mereka diangkat menjadi pejabat negara. Arya
Wiraraja yang paling berjasa diberi kedudukan tinggi dan berkuasa di daerah
Lumajang hingga Blambangan. Nambi diberi kedudukan sebagai  rakryan
mahapatih, Sora sebagai  patih di Daha, dan Rangga Lawe sebagai  amanca
nagara di Tuban.
Ternyata ada sahabat Raden Wijaya yang tidak puas dengan jabatan yang
diterimanya sehingga terjadi pemberontakan. Pemberontakan pertama terjadi
pada tahun 1295 yang dilakukan oleh Rangga Lawe (Parangga Lawe) Bupati
Tuban. Rangga Lawe memberontak karena tidak puas terhadap kebijaksanaan
Kertarajasa yang dirasa kurang adil. Kedudukan Patih Majapahit seharusnya
diberikan kepadanya. Namun, oleh Kertarajasa kedudukan itu telah diberikan
kepada Nambi (anak Wiraraja). Pemberontakan Rangga Lawe dapat ditumpas
dan ia tewas oleh Kebo Anabrang. Lembu Sora, sahabat Rangga Lawe, karena
tidak tahan melihat kematiannya, kemudian membunuh Kebo Anabrang.
Peristiwa itu dijadikan alasan Mahapatih yang mempunyai ambisi politik besar
di Majapahit menyusun strategi agar raja bersedia menghukum tindakan Lembu
Sora.
Lembu Sora membangkang perintah raja dan mengadakan pemberontakan
pada tahun 1298–1300. Lembu Sora gugur bersama sahabatnya, Jurudemung
dan Gajah Biru.
Untuk memperkuat kedudukannya sebagai Raja Majapahit, Raden Wijaya
menikahi keempat putri Kertanegara, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita,
Prajnaparamita, dan Gayatri. Hal itu dimaksudkan agar tidak lagi terjadi perebutan
kekuasaan oleh anggota keluarga Kertanegara lainnya. Di samping itu, Raden
Wijaya juga memperistri Dara Petak, putri dari Melayu yang dibawa oleh prajurit
Singasari dari tugasnya di Melayu.
Perkawinan Raden Wijaya dengan Tribhuwaneswari mempunyai anak, yaitu
Jayanegara, sedangkan dengan Gayatri memiliki dua orang putri, yaitu
Tribhuwanatunggadewi (Bhre Kahuripan) dan Rajadewi Maharaja (Bhre Daha).
Keturunan dari Gayatri itulah yang nanti akan melahirkan raja-raja besar di
Majapahit.
Susunan pemerintahan Kertarajasa tidak banyak berbeda dengan
pemerintahan Singasari. Raja dibantu oleh tiga orang mahamenteri ( i hino, i
sirikan, dan i halu) dan dua orang pejabat lagi, yaitu rakryan rangga dan rakryan
tumenggung. Pada tahun 1309 Kertarajasa wafat dan didharmakan di Simping
dengan Arca Syiwa dan di Antahpura (di kota Majapahit) dengan arca
perwujudannya berbentuk Harihara (penjelmaan Wisnu dan Syiwa).
2) Sri Jayanegara (1309–1328)
Setelah Kertarajasa mangkat, digantikan putranya yang bernama Kala Gemet
dengan gelar Sri Jayanegara. Kala Gemet sudah diangkat sebagai raja muda
(kumararaja) sejak ayahnya masih memerintah (1296). Ternyata, Jayanagara
adalah raja yang lemah. Oleh karena itu, pada masa pemerintahannya terus
dirongrong oleh sejumlah  pemberontakan.

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 44

Pada tahun 1316 timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Nambi yang
menjabat Rakryan Patih Majapahit. Nambi memusatkan kekuatannya di daerah
Lumajang dan Pajarakan. Pemberontakan Nambi mendapat dukungan dari
ayahnya (Wiraraja). Raja Jayanegara atas nasihat  Mahapati memerintahkan
Lumajang dan Pajarakan digempur sampai hancur. Terjadilah pertempuran
sengit dan Nambi pun gugur.
Keadaan belum pulih, terjadi lagi pemberontakan Semi pada tahun 1318.
Setahun kemudian (1319) terjadi pemberontakan Kuti. Semi dan Kuti adalah
dua orang dari tujuh  dharmmaputra. Pemberontakan inilah yang paling
berbahaya karena Kuti berhasil menduduki ibu kota Kerajaan Majapahit.
Jayanegara terpaksa melarikan diri dan mengungsi ke  Badander di bawah
perlindungan pasukan Bayangkara yang dipimpin oleh Gajah Mada.
Setelah raja dalam keadaan aman, Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk
melakukan pendekatan kepada rakyat. Ternyata masih banyak rakyat yang
memihak raja dan Gajah Mada pun berhasil menanamkan rasa kebencian
kepada Kuti. Dengan strategi yang jitu, Gajah Mada mengadakan serangan secara
tiba-tiba ke pusat kerajaan. Pasukan Kuti dapat dihancurkan dan Kuti tewas
dalam pertempuran itu. Setelah keadaan benar-benar aman, Jayanegara pulang
ke ibu kota untuk meneruskan pemerintahannya. Karena jasanya yang besar,
Gajah Mada diangkat menjadi Patih Kahuripan. Dua tahun berikutnya, ia diangkat
menjadi Patih Daha menggantikan Arya Tilan (1321).
Pada tahun 1328 terjadilah musibah yang mengejutkan. Raja Jayanegara
dibunuh oleh Tanca (seorang tabib kerajaan). Tanca kemudian dibunuh oleh
Gajah Mada. Peristiwa itu disebut Patanca. Jayanegara didharmakan di Candi
Srenggapura di Kapopongan.
3) Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani (1328–1350)
Raja Jayanegara tidak berputra sehingga ketika baginda mangkat, takhta
kerajaan diduduki oleh adik perempuannya dari ibu berbeda (Gayatri) yang
bernama Bhre Kahuripan. Ia dinobatkan menjadi Raja Majapahit dengan gelar
Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani . Selama memerintah,
Tribhuwanatunggadewi didampingi suaminya yang bernama Cakradhara atau
Cakreswara yang menjadi raja di Singasari (Bhre Singasari) dengan gelar
Kertawardhana . Berkat bantuan dan saran dari Patih Gajah Mada,
pemerintahannya dapat berjalan lancar walaupun masih timbul pemberontakan.
Pada tahun 1331 timbul pemberontakan Sadeng dan Keta di daerah Besuki,
tetapi dapat dihancurkan oleh pasukan Gajah Mada. Karena jasanya itu, Gajah
Mada naik pangkat lagi dari Patih Daha menjadi Mahapatih Majapahit
menggantikan Pu Naga. Setelah diangkat menjadi Mahapatih Majapahit, dalam
suatu persidangan besar yang dihadiri oleh para menteri dan pejabat negara
lainnya, Gajah Mada mengucapkan sumpah untuk menyatukan Nusantara di
bawah naungan Majapahit. Sumpahnya itu dikenal dengan nama  Sumpah
Palapa. Palapa berarti garam atau rempah-rempah yang dapat melezatkan

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 45

berbagai masakan. Oleh karena itu, sumpah itu dapat diartikan bahwa Gajah
Mada tidak akan makan  palapa (hidup enak) sebelum berhasil menyatukan
Nusantara.
Semula banyak pejabat negara yang menertawakannya, tetapi Gajah Mada
sudah bertekad baja, bersemangat membara, dan maju terus pantang mundur.
Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatunya untuk mewujudkan sumpahnya,
seperti prajurit pilihan, persenjataan, dan armada laut yang kuat. Setelah
persiapannya matang, tentara Majapahit sedikit demi sedikit bergerak
menyerang untuk menaklukkan wilayah kerajaan lain.
Pada tahun 1334 Bali berhasil ditaklukkan oleh Gajah Mada yang dibantu
oleh Laksamana Nala dan Adityawarman. Adityawarman adalah seorang pejabat
Majapahit keturunan Melayu dan berkedudukan sebagai werdhamantri dengan
gelar Arya Dewaraja Pu Aditya. Setelah penaklukkan Bali, satu demi satu daerah
di Sumatra, Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara,
Maluku, dan Irian (Papua) bagian barat berhasil ditundukkan dan mengakui
kekuasaan Majapahit. Tugas besar itu tercapai pada masa pemerintahan Raja
Hayam Wuruk . Agar pengakuan kekuasaan Majapahit di Sumatra kekal,
Adityawarman diangkat menjadi raja di Melayu menggantikan Mauliwarmadewa
(1343). Adityawarman segera menata kembali struktur pemerintahan dan
meluaskan daerah kekuasaannya hingga Pagarruyung–Minangkabau. Setelah
itu, Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dari Jambi ke Pagarruyung.
Adityawarman memerintah hingga tahun 1375.
Pada tahun 1372 Tribhuwanatunggadewi meninggal dan didharmakan di
Panggih dengan nama Pantarapurwa.
4) Raja Hayam Wuruk (1350–1389)
Hayam Wuruk setelah naik takhta bergelar  Sri Rajasanagara dan dikenal
pula dengan nama Bhre Hyang Wekasing Sukha. Ketika Tribhuwanatunggadewi
masih memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi rajamuda
(kumararaja) dan mendapat daerah Jiwana sebagai wilayah kekuasaannya. Dalam
memerintah Majapahit, Hayam Wuruk didampingi oleh Gajah Mada sebagai
patih hamangkubumi.
Hayam Wuruk adalah raja yang cakap dan didampingi oleh patih yang
gagah berani pula. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk inilah Majapahit
mencapai puncak kebesaran. Wilayah kekuasaannya hampir seluas negara
Indonesia sekarang. Bahkan, pengaruhnya terasa sampai ke luar Nusantara,
yaitu sampai ke Thailand (Campa), Indocina, dan Filipina Selatan. Dengan
kenyataan itu, berarti Sumpah Palapa Gajah Mada benar-benar terwujud
sehingga seluruh pembesar kerajaan selalu hormat kepadanya. Kecuali sebagai
seorang negarawan dan jenderal perang, Gajah Mada juga ahli hukum. Ia berhasil
menyusun kitab Kutaramanawa yang digunakan sebagai dasar hukum di Majapahit.
Pada saat pemerintahan Raja Hayam Wuruk, ada satu daerah di Pulau Jawa
yang belum tunduk kepada Majapahit, yaitu  Kerajaan Sunda di Jawa Barat.
Kerajaan Sunda itu diperintah oleh  Sri Baduga Maharaja. Gajah Mada ingin

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 46

menundukkan secara diplomatis dan kekeluargaan. Kebetulan pada tahun 1357
Raja Hayam Wuruk bermaksud meminang putri Sri Baduga yang bernama
Dyah Pitaloka untuk dijadikan permaisuri. Lamaran itu diterimanya. Dyah
Pitaloka dengan diantarkan oleh Sri Baduga beserta prajuritnya berangkat ke
Majapahit. Akan tetapi, ketika sampai di Bubat, Gajah Mada menghentikan
rombongan pengantin. Gajah Mada menghendaki agar putri Kerajaan Sunda
itu dipersembahkan kepada Hayam Wuruk sebagai tanda tunduk Raja Sunda
kepada Majapahit. Tentu saja maksud Gajah Mada itu ditentang oleh raja dan
kaum bangsawan Sunda. Akibatnya, terjadilah pertempuran sengit yang tidak
seimbang. Sri Baduga beserta para pengikutnya gugur, Dyah Pitaloka bunuh
diri di tempat itu juga. Peristiwa itu terkenal dengan nama Perang Bubat.
5) Raja Wikramawardhana (1389–1429)
Setelah Raja Hayam Wuruk mangkat, terjadilah perebutan kekuasaan di
antara putra-putri Hayam Wuruk. Kemelut politik pertama meletus pada tahun
1401. Seorang raja daerah  dari bagian timur, yaitu  Bhre Wirabhumi mem-
berontak terhadap  Raja Wikramawardhana. Raja Wikramawardhana adalah
suami Kusumawardhani yang berhak mewarisi takhta kerajaan ayahnya (Hayam
Wuruk), sedangkan Bhre Wirabhumi adalah putra Hayam Wuruk dari selir.
Dalam kitab Pararaton, pertikaian antarkeluarga itu disebut Perang Paregreg.
Pasukan Bhre Wirabhumi dapat dihancurkan dan ia terbunuh oleh Raden Gajah.
6) Raja Suhita (1429–1447)
Wikramawardhana wafat pada tahun 1429 dan digantikan oleh putrinya
yang bernama Suhita. Penobatan Suhita menjadi Raja Majapahit dimaksudkan
untuk meredakan pertikaian keluarga tersebut. Namun, benih balas dendam
sudah telanjur tertanam pada keluarga Bhre Wirabhumi. Akibatnya, pada tahun
1433 Raden Gajah dibunuh karena dipersalahkan telah membunuh Bhre
Wirabhumi. Hal itu menunjukkan bahwa pertikaian antarkeluarga Majapahit
terus berlangsung.
7) Raja Majapahit Terakhir
Pada tahun 1447 Suhita meninggal dan digantikan Dyah Kertawijaya. Ia
hanya memerintah selama empat tahun (1447–1451) karena pada tahun 1451
meninggal dan didharmakan di Kertawijayapura. Apa yang diperbuat oleh raja
tidak ada keterangan yang jelas.
Sepeninggal Kertawijaya, pemerintahan Majapahit dipegang oleh  Bhre
Pamotan dengan gelar Sri Rajawarddhana. Rajawarddhana juga disebut Sang
Sinagara. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa ia berkedudukan di Keling,
Kahuripan. Ini lebih dikuatkan lagi oleh Prasasti Waringin Pitu yang dikeluarkan
oleh Kertawijaya (1447).
Sepeninggal Rajawarddhana (1453), Kerajaan Majapahit selama tiga tahun
(1453–1456) tidak mempunyai seorang raja.

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 47

Pada tahun 1456 Majapahit diperintah oleh Bhre Wengker dengan gelar
Girindrawardhana. Bhre Wengker adalah anak Bhre Tumapel Kertawijaya. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 10 tahun (1456–1466).
8) Keruntuhan Kerajaan Majapahit
Berkembangnya agama Islam di pesisir utara Jawa yang kemudian diikuti
berdirinya Kerajaan Demak mempercepat kemunduran Kerajaan Majapahit.
Raja dan pejabat penting Demak adalah keturunan Raja Majapahit yang sudah
masuk Islam. Mereka masih menyimpan dendam nenek moyangnya sehingga
Majapahit berusaha dihancurkan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1518–1521.
Penyerangan Demak terhadap Majapahit itu dipimpin oleh Adipati Unus (cucu
Bhre Kertabhumi).
b. Struktur Pemerintahan Kerajaan Majapahit
Wilayah kekuasaan Majapahit pada saat pemerintahan Hayam Wuruk
meliputi seluruh Nusantara, termasuk Singapura dan Semenanjung Melayu.
Bahkan, pengaruh Kerajaan Majapahit terasa sampai ke luar Nusantara, yaitu
ke Filipina Selatan dan Thailand (Campa). Wilayah yang luas itu dibagi-bagi
dalam delapan daerah atau disebut  Daerah Delapan, yaitu Jawa, Sumatra,
Kalimantan (Tanjungpura), Semenanjung Melayu, Nusa Tenggara, Sulawesi,
Maluku, dan Papua.
Majapahit merupakan kerajaan Hindu yang diketahui agak lengkap struktur
pemerintahannya. Struktur pemerintahaan Kerajaan Majapahit mencerminkan
adanya kekuasaan yang bersifat teritorial dan sentralisasi. Raja dianggap sebagai
penjelmaan dewa yang memegang kekuasaan politik sehingga dengan sendirinya
menempati struktur pemerintahan tertinggi di kerajaan.
Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh sejumlah pejabat.
Adapun nama jabatan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Rakryan Mahamantri Katrini
Rakryan Mahamantri Katrini dijabat oleh putra-putra raja yang merupakan
gabungan jabatan dari pangkat rakryan mahamantri i hino, rakryan mahamantri
i halu, dan rakryan mahamantri i sirikan.
2) Rakryan Mantri Pakira-Kiran
Rakryan Mantri Pakira-Kiran adalah suatu dewan yang terdiri atas lima orang
pejabat tinggi kerajaan yang berfungsi sebagai badan pelaksana pemerintahan.
Dewan ini terdiri atas patih hamangkubumi (perdana menteri), rakryan
tumenggung, rakryan demung, rakryan rangga, dan rakryan kanuruhan. Kelima
pejabat itu juga disebut Sang Pancaring Wilwatikta atau Menteri Mancanagara.
Selain dewan menteri, masih banyak menteri lainnya, seperti werdhamenteri,
yuwamenteri, dan aryadhikara.

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 48

3) Dharmmaddyaksa
Dharmmaddyaksa adalah jabatan bidang keagamaan. Jabatan untuk urusan
agama Syiwa disebut dharmmaddhyaksa ring kasaiwan, sedangkan jabatan untuk
agama Buddha disebut dharmmaddhyaksa ring kasogatan.
Kedua jabatan itu masih dibantu oleh para pejabat bawahannya yang disebut
dharmaupapati atau sang pamegat. Jumlah mereka banyak sekali. Akan tetapi,
di dalam prasasti-prasasti peninggalan Majapahit biasanya yang disebut paling
banyak tujuh orang. Pada zaman Hayam Wuruk dikenal adanya tujuh upapati
yang disebut sang upapati sapta. Ketujuh upapati itu adalah  sang pamegat i
tirwan, sang pamegat i kandamuhi, sang pamegat i manghuri, sang pamegat i
pamwatan, sang pamegat i jambi, sang pamegat i kandangat atuha, dan sang
pamegat i kandangan rare.
Di samping jabatan tersebut, raja juga mempunyai suatu lembaga yang
berfungsi sebagai dewan pertimbangan kerajaan.  Dewan pertimbangan kerajaan
itu disebut Bhatara Sapta Prabu.
4) Urusan Kelautan dan Angkatan Laut
Urusan kelautan dan angkatan laut dipegang oleh Laksamana Nala. Ia telah
berjasa besar dalam berbagai ekspansinya ke luar Jawa untuk menyatukan
Nusantara.
c. Bidang Sosial
Pada waktu tertentu diselenggarakan upacara Srrada di ibu kota kerajaan
dengan tujuan menghormati arwah nenek moyang. Upacara Srrada dihadiri
oleh semua pejabat termasuk para adipati. Upacara Srrada yang paling besar
diselenggarakan pada tahun 1362, yaitu pada saat memperingati 12 tahun
meninggalnya Rajapatni atas perintah ibunda Raja Tribuwanatunggadewi.
Raja Hayam Wuruk sangat memperhatikan pula keadaan daerah-daerah
kerajaan. Beberapa kali ia mengadakan perjalanan kenegaraan meninjau daerah
kekuasaan Majapahit dengan disertai para pembesar kerajaan. Di antaranya
adalah perjalanan ke daerah
a) Pajang (1351),
b) Lasem (1354),
c) Lumajang (1359),
d) Blitar (1361),
e) Simping sambil meresmikan sebuah candi (1363), dan
f) Kediri (1365).
Pada masa Kerajaan Majapahit berkembang agama Hindu Syiwa dan
Buddha. Kedua umat beragama itu memiliki toleransi yang besar sehingga
tercipta kerukunan umat beragama yang baik. Raja Hayam Wuruk beragama
Syiwa, sedangkan Gajah Mada beragama Buddha. Namun, mereka dapat bekerja
sama dengan baik.

Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 49

Rakyat ikut meneladaninya, bahkan  Empu Tantular menyatakan bahwa
kedua agama itu merupakan satu kesatuan yang disebut Syiwa–Buddha. Hal
itu ditegaskan lagi dalam kitab Sutasoma dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika
Tan Hana Dharmma Mangrwa. Artinya, walaupun beraneka ragam, tetap dalam
satu kesatuan, tidak ada agama yang mendua.
Urusan keagamaan diserahkan kepada pejabat tinggi yang disebut
dharmmaddhyaksa. Jabatan itu dibagi dua, yaitu  dharmmaddhyaksa ring
kasaiwan untuk urusan agama Syiwa dan  dharmmaddhyaksa ring kasogatan
untuk urusan agama Buddha. Kedua pejabat itu dibantu oleh sejumlah pejabat
keagamaan yang disebut  dharmmaupatti. Pejabat itu, pada zaman Hayam
Wuruk yang terkenal ada tujuh orang yang disebut sang upatti sapta. Di samping
sebagai pejabat keagamaan, para  upatti  juga dikenal sebagai kelompok
cendekiawan atau pujangga. Misalnya,  Empu Prapanca  adalah seorang
dharmmaddhyaksa  dan juga seorang pujangga besar dengan kitabnya
Negarakertagama.
Untuk keperluan ibadah, raja juga melakukan perbaikan dan pembangunan
candi-candi.
d. Kehidupan Budaya
Pada masa Majapahit bidang seni budaya berkembang pesat, terutama seni
sastra. Karya seni sastra yang dihasilkan pada masa Majapahit, antara lain sebagai
berikut.
1) Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada tahun 1365. Isinya
menceritakan hal-hal sebagai berikut.
a) Sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit dengan masa pemerintahan-
nya.
b) Keadaan kota Majapahit dan daerah-daerah kekuasaannya.
c) Kisah perjalanan Raja Hayam Wuruk ketika berkunjung ke daerah
kekuasaannya di Jawa Timur beserta daftar candi-candi yang ada.
d) Kehidupan keagamaan dengan upacara-upacara sakralnya, misalnya
upacara Srrada untuk menghormati roh Gayatri dan menambah
kesaktian raja.
2) Kitab Sutasoma karangan  Empu Tantular. Kitab tersebut berisi riwayat
Sutasoma, seorang anak raja yang menjadi pendeta Buddha.
3) Kitab Arjunawijaya karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi tentang
riwayat raja raksasa yang berhasil ditundukkan oleh Raja Arjunasasrabahu.
4) Kitab Kunjarakarna dan Parthayajna, tidak jelas siapa pengarangnya. Kitab
itu berisi kisah raksasa Kunjarakarna yang ingin menjadi manusia, dan
pengembaraan Pandawa di hutan karena kalah bermain dadu dengan Kurawa.
Di samping seni sastra, seni bangunan juga berkembang pesat. Bermacam-
macam candi didirikan dengan ciri khas Jawa Timur, yaitu dibuat dari bata,
misalnya Candi Panataran, Candi Tigawangi, Candi Surawana, Candi Jabung,
dan Gapura Bajang Ratu.

Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 50

Kecakapan Vokasional

Majapahit mencapai puncak kejayaan berkat usaha Patih Gajah Mada dan
Raja Hayam Wuruk. Pada tahun 1364 Gajah Mada meninggal. Hal itu
menimbulkan kesulitan bagi Raja Hayam Wuruk untuk mencari penggantinya.
Oleh karena itu, tugas patih hamangkubumi diserahkan kepada dewan menteri
yang terdiri atas Empu Tanding, Empu Nala,  dan Patih Dami. Setelah tiga
tahun dari kematian Gajah Mada, raja mengangkat Gajah Enggon menjadi patih
hamangkubumi.
Pada tahun 1389 Raja Hayam Wuruk mangkat dan didharmakan di Tayung
(daerah Berbek, Kediri). Hayam Wuruk mempunyai seorang putri dan seorang
putra dari dua orang istri. Dari permaisurinya lahir Kusumawardhani, sedangkan
dari selirnya lahir Bhre Wirabhumi.
Berdasarkan sumber sejarah yang ada, baik berupa prasasti maupun kitab-
kitab kuno, disebutkan bahwa Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit
sebenarnya masih kerabat atau pangeran dari Kerajaan Singasari. Untuk
keperluan tersebut, buatlah silsilah Kerajaan Singasari dari Ken Arok sampai
Raden Wijaya.
e. Bidang Ekonomi
Kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh rakyat dan pemerintah Kerajaan
Majapahit adalah sebagai berikut.
1) Di Pulau Jawa dititikberatkan pada sektor pertanian rakyat yang banyak
menghasilkan bahan makanan.
2) Di luar Jawa, terutama bagian timur (Maluku), dititikberatkan pada tanaman
rempah-rempah dan tanaman perdagangan lainnya.
3) Di sepanjang sungai-sungai besar berkembang kegiatan perdagangan yang
menghubungkan daerah pantai dan pedalaman.
4) Di kota-kota pelabuhan, seperti Tuban, Gresik, Sedayu, Ujung Galuh,
Canggu, dan Surabaya, dikembangkan perdagangan antarpulau dan dengan
luar negeri, seperti Cina, Campa, dan India.
5) Dari kota-kota pelabuhan, pemerintah menerima bea cukai, sedangkan dari
raja-raja daerah pemerintah menerima pajak dan upeti dalam jumlah yang
cukup besar.
Perekonomian yang maju ini membuat rakyat hidup sejahtera dan keluarga
raja beserta para pejabat negara lebih makmur lagi.

No comments:

Pages