Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 5
Para ahli sejarah juga telah membuat beberapa kemungkinan
tentang para
pembawa dan pengembang kebudayaan India di Indonesia.
Terdapat tiga teori
tentang pembawa dan pengimbang kebudayaan India di
Indonesia.
1. Teori Ksatria (Pendapat F.D.K. Bosch)
Teori ksatria menyatakan bahwa masuknya kebudayaan India ke
Indonesia
disebabkan adanya proses kolonisasi di wilayah India oleh
orang-orang India.
Raja-raja beserta prajurit India datang menyerang dan mengalahkan kelompok-
kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Wilayah
koloni-koloni itulah yang
menjadi pusat penyebaran kebudayaan India.
2. Teori Waisya (Pendapat N.J. Krom)
Teori waisya menyatakan bahwa masuknya kebudayaan India ke
Indonesia
dibawa dan disebarkan oleh para pedagang India yang singgah
di bandar-bandar
Indonesia. Para pedagang India yang singgah di bandar-bandar
Indonesia sambil
menunggu arah angin yang tepat untuk melanjutkan perjalanan
ada yang menetap
di Indonesia. Mereka ada yang menetap sementara dan ada pula
yang menetap
untuk selamanya. Mereka menetap selamanya karena telah
menikah dengan
wanita Indonesia. Dari perkawinan inilah makin memudahkan
proses
penyebaran kebudayaan India. Proses penyebaran kebudayaan
juga makin lancar
apabila para pedagang India itu dekat dengan penguasa lokal.
3. Teori Brahmana (Pendapat J.C. van Leur)
Teori brahmana menyatakan bahwa masuknya kebudayaan India ke
Indonesia dibawa oleh para brahmana. Berdasarkan teori ini,
para brahmana
India itu datang ke Indonesia atas undangan para penguasa
lokal di Indonesia.
Dengan demikian, kebudayaan India yang berkembang di
Indonesia adalah
budaya golongan brahmana.
Dari beberapa teori pembawa pengaruh kebudayaan India ke
Indonesia,
teori brahmana agaknya yang memiliki dasar kuat. Alasan yang
dikemukakan
para pendukung teori brahmana dalam menyangkal teori lainnya,
antara lain
sebagai berikut.
a. Tidak ada bukti yang mendukung bahwa para prajurit dan
ksatria India
mengadakan penguasaan wilayah (kolonisasi) di Indonesia.
Sumber tertulis
tentang proses kolonisasi, baik dari India maupun Indonesia
tidak
ditemukan. Selain itu, hal-hal yang selalu mengikuti proses
kolonisasi berupa
pemindahan segala unsur kemasyarakatan negeri induk
(penjajah) tidak
ditemui. Kalaupun ada di wilayah Nusantara yang ditempati
oleh kelompok
masyarakat India bukanlah proses kolonisasi. Namun, mereka
adalah
masyarakat biasa yang kebetulan bermata pencaharian sama
sebagai
pedagang. Tempat seperti itu sekarang masih dapat ditemui di
bagian
wilayah barat Indonesia yang disebut Kampung Keling.
b. Kemungkinan pembawa kebudayaan India ke Indonesia adalah
para
pedagang sesungguhnya juga kurang tepat. Alasannya, pedagang
yang
datang ke Indonesia adalah para pedagang keliling yang
berasal dari
Sejarah SMA/MA Kelas XI Program Bahasa 6
kalangan biasa. Padahal, sifat kebudayaan India yang berkembang
di
Indonesia adalah kebudayaan tinggi. Alasan lainnya, hubungan
pedagang
India dengan penguasa lokal di Nusantara hanyalah masalah
perdagangan.
Dengan demikian, mustahil para pedagang tersebut mempunyai
pandangan
tentang tata negara dan hal keagamaan.
c. Pengaruh keagamaan dari India yang datang ke Indonesia
salah satunya
adalah agama Hindu. Padahal, agama Hindu pada awalnya
bukanlah agama
untuk umum. Artinya, pendalaman agama tersebut hanya dapat
dilakukan
oleh kaum brahmana. Merekalah yang dibenarkan mendalami
kitab-kitab
suci. Pada praktiknya, di dalam agama Hindu lahir beberapa
aliran. Adapun
sekte agama Hindu yang besar pengaruhnya di Jawa dan Bali
adalah Saiya-
Siddharta. Pada prinsipnya sekte Saiva-Siddharta bersifat
esoteris. Untuk
mencapai tingkatan brahmana guru, para brahmana biasa
mengalami ujian
berat dan bertahun-tahun lamanya. Ketika brahmana biasa
ditasbihkan
menjadi brahmana guru, ia dianggap telah mampu merubah air
menjadi
amerta. Brahmana demikianlah yang datang ke Indonesia atas
undangan
para penguasa lokal. Mereka diminta melakukan upacara khusus
yang
disebut Vratyastoma. Pada dasarnya kesaktian para brahmana
inilah yang
menyebabkan mereka didatangkan ke Indonesia. Mereka kemudian
mendapat kedudukan terhormat di kalangan penguasa Indonesia
dan menjadi
inti golongan brahmana Indonesia yang berkembang kemudian.
Bersamaan dengan masuknya agama Hindu di Indonesia, masuk
pula
agama dan kebudayaan Buddha. Berita tentang masuknya agama
Buddha di
Indonesia bersumber dari keterangan seorang Cina bernama Fa
Hien. Dari India,
Fa Hien berlayar pulang ke Cina. Pada saat melewati
Nusantara, kapalnya
mengalami kerusakan akibat angin topan. Fa Hien terpaksa
singgah di Ye-po-ti
(Jawadwipa). Fa Hien mengatakan bahwa di Ye-po-ti banyak
dijumpai berhala
dan kaum brahmana, sedangkan agama Buddha hampir tidak ada.
Hal itu berarti
pada awal abad ke-5 agama Buddha belum masuk ke Jawa.
Pada abad ke-7 di Indonesia terdapat prasasti bersifat
Buddha yang dibuat
oleh raja-raja Sriwijaya. Hal itu menunjukkan bahwa pada
abad ke-7 M agama
Buddha masuk di Indonesia. Mula-mula yang berkembang adalah
aliran Buddha
Hinayana. Karena tidak cocok dengan kehidupan perdagangan
dan paham
animisme yang berkembang di Sriwijaya akhirnya berkembang
aliran Buddha
Mahayana.
Masuknya kebudayaan India menjadikan bangsa Indonesia mulai
mengenal
tulisan dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Dengan
demikian, Bangsa
Indonesia mulai memasuki zaman Sejarah, yaitu suatu periode
atau pembabakan
waktu ketika manusia mulai mengenal tulisan dan meninggalkan
keterangan
tertulis yang sezaman. Peninggalan tertulis itu dapat berupa
prasasti (tulisan
yang dipahatkan pada batu), tulisan pada daun lontar,
ataupun dokumen lainnya.
Setelah bangsa Indonesia mengenal huruf Pallawa dan bahasa
Sanskerta,
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat serta kebudayaannya
makin cepat.
Struktur masyarakat mulai berkembang lebih teratur dan
terorganisasi.
Perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia 7
Masyarakat yang sebelumnya hanya merupakan kelompok-kelompok
sosial yang
dipimpin oleh kepala suku mulai mengenal sistem pemerintahan
dalam bentuk
kerajaan yang bercorak Hindu ataupun Buddha.
Agama Hindu pada awal perkembangannya di Indonesia membawa
pengaruh besar dalam sistem kemasyarakatannya. Sistem kasta
yang sebenarnya
bermakna pada pembagian tugas dan kewajiban pada setiap
orang yang berlaku
di dalam ajaran Hindu di India juga berkembang di Indonesia.
Dengan sistem
kasta menyebabkan masyarakat Hindu seakan-akan saling hidup
terpisah dan
membentuk kelompok sosial sendiri. Hal itu menyebabkan
adanya jurang
pemisah yang lebar antara kasta tinggi (kasta Brahmana dan
kasta Ksatria) dan
kasta rendah (kasta Waisya dan kasta Sudra). Stratifikasi
yang mencolok itu
menyebabkan kasta Brahmana memiliki peranan dan pengaruh
paling besar
dalam tata kehidupan masyarakat, termasuk kepada raja
sekalipun. Kaum
brahmana jugalah yang berhak membaca dan mempelajari kitab
suci agama
Hindu (Weda) serta yang mengatur upacara keagamaan. Oleh
karena itu, kaum
brahmana mendapat kedudukan yang tinggi di dalam setiap
kerajaan Hindu
(sebagai penasihat raja).
Perlu diingat bahwa pelaksanaan sistem kasta itu hanya
berlaku pada saat
agama dan kebudayaan Hindu baru masuk dan berkembang
beberapa saat di
Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman, sistem kasta
itu hanya dijadikan
ajaran dalam agama Hindu di Indonesia saat ini, tetapi tidak
dilaksanakan secara
mutlak. Setiap pemeluk agama Hindu mempunyai tugas dan hak
yang sama
dalam beribadah dan bermasyarakat.
No comments:
Post a Comment